Contoh sederhana ketika  Yoyok dihantam kritikan pedas karena PSIS hingga muncul tagar #betahisin, dan viral soal ijasahnya yang berasal dari perguruan tinggi yang sudah tutup. Ia tak lagi dipusingkan oleh itu semua, karena dalam benaknya adalah upaya terus menerus untuk secepat dan semaksimal mungkin memperbaiki yang memang harus diperbaiki. Â
Yoyok tak harus terhanyut dalam cognitive dissonance, ketidakcocokan atau paradoks dalam konteks mewujudkan Semarang maju dan bermartabat.Â
Yoyok tak ingin terkungkung dan berhenti dengan kegagalan dan keterbatasan, ia ingin meluas, Â looking at a field of flowers simultaneously through a microscope and a wide-angle lens, melihat atau mengamati bunga secara bersamaan dengan ketajaman miskroskop dan lensa yang lebar dan luas.Â
Begitu juga dengan Joko Santoso, yang terus diserang dengan narasi "tukang kepruk" atau "tukang jotosi wong". Â Ketua DPC Gerindra Kota Semarang ini tetap santai, tak menggubris serangan tersebut dan tetap fokus pada tujuannya.
Ibarat sepetak lubang semakin hitam. Matahari pun terbenam. Tapi hati si pengikut justeru semakin terang. Jauh dari kedalaman sana terdengar suara ketenangan dan memutuskan untuk menciptakan garisnya sendiri, dengan Hasta Karya terus menggaungkan "mengada" (being), otensitas (authentic existence), dan kesadaran diri (self consciousness).Â
Dan mulai akhir-akhir ini menjadi semacam "sraddha" (aman he'min-munah), menjadi semacam pisteuo, sebuah keterikatan "polos" yang melebur "pasrah" untuk bersama mewujudkan visi dan misinya.
Sebagaimana Michael Oher dalam film "Blindside", menjelaskan semua akan berlalu dengan baik jika kita sungguh-sungguh untuk mewujudkannya.Â
 When you open your eyes the past is gone.  The world is good place, and it's all going to be ok. (wartosae)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H