Mohon tunggu...
TR Dahana
TR Dahana Mohon Tunggu... -

Warga biasa, meminati aktivitas biasa-biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tantangan Visi Sejarah Jokowi

6 Oktober 2014   21:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:09 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Indonesia adalah bangsa yang dirangkai oleh sejarah. Wilayah keberagaman Indonesia yang luas meliputi berbagai suku, agama, etnis, bahasa, dan wilayah adat membutuhkan satu ikatan yang homogen. Maka disitulah sejarah sebagai sebuah pemikiran atas masa lalu menemukan relevansinya dalam ranah kebangsaan.

Dalam konteks itulah kiranya patut kita diskusikan bagaimana sikap politik pemerintahan mendatang tentang sejarah. Terlebih masa pemerintahan baru ini dimulai hampir bersamaan dengan mulai dilaksanakannya Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah.

Kurikulum 2013 disusun dengan kesadaran untuk mempersiapkan generasi Indonesia pada era globalisasi dan perdagangan bebas. Salah satu tantangan serius yang dibawa globalisasi adalah persoalan identitas dan nasionalisme. Pada kurikulum baru tersebut sejarah akan diarahkan menjadi sarana bagi penguatan identitas ke-Indonesia-an dan nilai-nilai nasionalisme. Porsinya pun ditingkatkan dan menjadi mata pelajaran wajib untuk tingkat SMA dan sederajat.

Selaras dengan itu dalam visi misi yang disampaikan ke publik pada masa kampanye lalu kita tahu bahwa pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan menempatkan sejarah sebagai bagian dari penguatan nilai-nilai nasionalisme. Salah satu dari sembilan agenda prioritasnya menyebutkan bahwa revolusi karakter bangsa hendak dicapai melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional. Aspek pendidikan seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti akan dikedepankan dan ditempatkan secara proporsional.

Sejarah dan nasionalisme dalam perjalanannya memang telah saling bertaut. Menurut E. J. Hobsbawm salah satu dari tiga kriteria yang memungkinkan suatu rakyat disebut sebagai bangsa adalah asosiasi historisnya dengan negara yang ada atau negara yang belum lama lenyapnya serta memiliki masa lalu yang panjang (E.J. Hobsbawm, 1992: 39).

Tetapi mengakomodasi kepentingan nasionalisme dalam ilmu sejarah dan pendidikan sejarah inilah yang terkadang tidak mudah. Seperti yang dialami Jepang dan Jerman sebelum Perang Dunia II. Konstruksi persepsi sejarah mereka dianggap turut memicu timbulnya paham fasis yang agresif. Atau seperti yang terjadi di Jepang dan Australia sekarang ini. Di kedua bangsa itu terdapat kontroversi dalam menyampaikan masa lalu yang dianggap negatif dan kontraproduktif dengan usaha konsolidasi nasionalismenya.

Situasi yang mirip juga terjadi di Indonesia. Ilmu sejarah dan pendidikan sejarah di Indonesia dinilai masih belum jujur dalam menyampaikan masa lalu. Terutama dalam isu-isu yang sensitif bagi publik seperti Serangan Umum 1 Maret, Peristiwa G30S, Pembunuhan Masal 1965 dan Supersemar.

Selama masa Orde Baru perdebatan-perdebatan tentang kontroversi sejarah Indonesia itu tidak muncul di permukaan. Dalam kekuasaan pemerintah yang kuat saat itu tafsir masa lalu dimonopoli dan diajarkan dalam bentuk Sejarah Resmi. Salah satu modelnya adalah Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).

Kita tentu saja tidak boleh terjebak lagi dengan membiarkan pendidikan sejarah hanya menjadi pembangkit nasionalisme semu dan menumpulkan nalar kritis ala PSPB. Globalisasi dan sejumlah traktat perdagangan bebas yang akan dihadapi Indonesia akan membawa tantangan baru dalam persoalan identitas dan nasionalisme. Ilmu sejarah harus bisa menjawab tantangan itu dengan menjadi wacana pengetahuan yang konstruktif, yang memberikan pemahaman secara utuh tentang masa lalu pada generasi muda.

Salah satu kekurangan yang bisa dipelajari dari kebijakan pendidikan sejarah di masa lalu adalah kegagalan dalam internalisasi nilai-nilai. Pendidikan sejarah hanya menuntut siswa hafal dengan tanggal-tanggal peristiwa saja. Pengenalan nilai-nilai luhur masa lalu tidak menjadi tujuan utama.

Kondisi demikian terbentuk karena sebuah kesalahpahaman. Sejarah bangsa dianggap hanya sebagai kronik tentang proses politik yang berpusar diantara peristiwa dan tokoh-tokoh. Pendidikan sejarah pun hanya disesaki dengan materi-materi tentang sejarah politik yang justru beberapa diantaranya masih kelabu. Kontroversi sejarah yang berkembang dewasa ini juga hanya menyangkut tema-tema tertentu dalam sejarah politik saja.

Padahal pendekatan sejarah politik biasanya hanya bisa digunakan untuk menjelaskan tentang sebuah peristiwa politik. Namun kurang memadai untuk menggali sebuahstruktur dalam sejarah Indonesia. Struktur adalah bentuk terdalam dan tersembunyi yang merupakan totalitas dari beragam elemen yang berhubungan antara satu dengan lainnya secara sistematis. Jika para strukturalis menaruh perhatian pada kemampuan sebuah sistem untuk mengubah dirinya sendiri sambil tetap mempertahankan struktur yang sama, maka sejarawan memberi perhatian atas bagaimana sebuah sistem berawal, mereproduksi dirinya sendiri, berubah dan runtuh (John A. Walker: 2010).

Struktur dalam sejarah bisa dikenali melalui aspek-aspek seperti kebiasaan, pola pikir, tradisi, norma dan nilai sosial. Aspek-aspek itulah yang tidak dapat tergali jika kita masih belum beranjak dari pendekatan sejarah politik. Untuk itu tema-tema baru dalam materi pendidikan sejarah sejarah harus dimunculkan.

Sejarawan Indonesia kini sebenarnya telah mengerjakan tema-tema yang luas dan beragam. Paling tidak dari skripsi, tesis atau disertasi sarjana sejarah dapat dilihat bahwa mereka tidak lagi terpaku dengan sejarah politik.

Sejak Sartono Kartodirdjo menulis tentang pemberontakan petani Banten pada 1966 sejarawan kini telah banyak menulis dengan tema seperti sistem transportasi, pangan, perencanaan kota, nasionalisme etnis, sejarah fashion, sejarah industri, sejarah perempuan. Bahkan telah lama menggarap sejarah masyarakat, yang dulu dianggap tidak mempunyai sejarah, seperti petani kecil, pekerja pelabuhan, kaum miskin kota dan mereka yang bekerja di sektor informal.

Hal itu sebenarnya menjadi modal yang berarti untuk mencapai format pengajaran sejarah yang sesuai dengan kebutuhan sekarang ini. Yang perlu disadari adalah nasionalisme bukan hanya sekadar ikatan politis. Nasionalisme juga tentang rasa kebanggaan bersama akan capaian-capaian masa lalu bangsa ini. Dengan tema penelitian sejarah yang semakin luas akan dapat digali lebih dalam tentang etos, kreativitas, leadership, solidaritas dan sejumlah nilai-nilai luhur dan membanggakan lainnya.

Nilai-nilai itu yang harus terkandung dalam pendidikan sejarah karena era persaingan global membutuhkan lebih daripada hanya hafalan angka tahun. Perluasan tema-tema materi pendidikan sejarah juga akan mengurangi hambatan-hambatan dalam menyampaikan sejarah secara kritis dan jujur. Eksplorasi yang lebih dalam dengan tema-tema baru akan memperkaya pemahaman tentang kompleksitas masa lalu bangsa ini. Dan saya yakin disitu ada cukup banyak kebanggaan yang bisa ditampilkan, lebih banyak daripada kekecewaan.

Tinggal tantangannya adalah bagaimana mensinergikan hasil kerja sejarawan kontemporer dengan pengajaran sejarah. Disinilah dibutuhkan peran strategis pemerintah dalam membentuk sebuah sistem yang mentransformasikan hasil penelitian kesejarahan mutakhir dengan pengajaran sejarah. Jangan sampai hasil kerja sejarawan hanya berakhir di rak-rak perpustakaan saja. Seperti yang selama ini terjadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun