Mohon tunggu...
Toyib Widarto
Toyib Widarto Mohon Tunggu... -

Young and Restless

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia, Move on yuk....

22 Februari 2012   06:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:20 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329892934364719598

Akhir-akhir ini saya melihat dari aneka forum, baik online maupun offline, adanya keinginan yg berkembang di sebagian masyarakat untuk kembali ke era Orde Baru, era kepemimpinan Soeharto. Masyarakat seolah telah mencapai titik jenuh, telah merasa apatis akan kondisi carut-marutnya negara Indonesia tercinta ini, yang dulu begitu gagah hingga dijuluki Macan Asia, namun kini bagaikan kehilangan taring, menjadi sebuah negara yang terus-terusan  dihajar kasus-demi kasus, bencana-demi bencana, dan kepemimpinan nasional terasa lemah dan tak berdaya. Mereka seolah tergiring untuk bernostalgia ke masa-masa ketika "Beras-Surplus, bensin-gopek-doang, beras-murah-ga-bau-kutu, dan masukin-anak-sekolah-ga-perlu-ke-pegadaian", hal-hal yang sederhana, namun ketika dibandingkan ke kondisi sekarang, akan terlihat seberapa jauh nilai perbandingan terbaliknya.

Memang jaman berubah, begitu pula nilai uang, dan saya memang tidak begitu mengetahui tentang dalil-dalil ekonomi yang bisa meng-counter ketidakpuasan-ketidakpuasan ini, namun sebegitu berharganyakah sebuah kata bertajuk "REFORMASI" hingga harus mengorbankan perasaan aman dan tentram dari sebagian besa rakyat, bahwa esok hari ketika kita membuka jendela, selalu ada harapan yang menunggu kita diluar?. Itu baru masalah "perut".  Belum lagi masalah konflik-konflik horizontal yang terus berkembang didalam masyarakat sebagai akibat dari dibukanya kran-kran informasi dan dibukanya kesempatan setiap elemen masyarakat untuk beropini dan berserikat, yang seperti kita tahu, ada batasan-batasan yang diterapkan ketika era Soeharto, yang membuat era itu relatif tenang, tanpa kegaduhan-kegaduhan sektarian maupun politis.

Dan jangan salah, keinginan diatas tak hanya datang dari generasi yang ketika Suharto berkuasa masih ingusan, dan belum tau apa-apa tentang borok dari otoriterisme era itu. Generasi yang besar dan dewasa diera itu juga ada yang menyuarakan hal yang sama, malah saya pernah membaca disatu forum online, mantan demonstran era 1998 yang menyesal karena dulu ikut berdemo menuntut reformasi. Menurutnya, Indonesia pada akhirnya seperti keluar mulut singa masuk mulut buaya. Kaget? saya juga. Terlepas dari benar tidaknya postingan itu, akhirnya ada kesimpulan dari beberapa pengamat bahwa pada dasarnya sistem Demokrasi belum cocok untuk diterapkan di Indonesia, karena masyarakat sebagian besar Indonesia belum dewasa dan cerdas, belum sadar arti penting suaranya bagi kemajuan bangsa dan negara, yang kadang kadang "suara" tersebut hanya menjadi item transaksional. Money politics pun menggejala di berbagai tingkatan. Membuat kata Demos dan Kratos, Rakyat dan Kekuasaan, hanyalah kata-kata kosong tanpa makna. Hingga kasarnya, ada yang berpendapat, Demokrasi belum diterapkan disuatu negara jika rakyat negara itu masih lapar, harfiah maupun kiasan, seperti di Indonesia.  Dan begitulah, apa yang kita tanam itupula yang kita tuai.

Saya sendiri pada awalnya berpendapat yang sama. Namun kemudian saya menyadari, itu semua hanya efek dari keputusasaan dan kekecewaan saya yang menumpuk hingga saya apriori, apatis dan menghilangkan ungkapan Terima Kasih dan Memaafkan dari dalam diri saya. Ya, betapapun buruk kondisinya negara saat ini, kita harus bisa berterima kasih, paling tidak kita bisa melihat kearah mana kita berjalan dan seperti apa pemimpin apakah yang Amanah dan Khianat itu. Memaafkan, karena seberapapun buruknya kepemimpinan nasional saat ini, afterall, kita juga yang memilih mereka, kitalah yang memberi mereka kepercayaan dan mandat untuk mengelola negara ini, dan jika akhirnya semua berakhir buruk, sebagian dari keburukan itu adalah kesalahan dari kita juga, maka itu yang terakhir adalah, maafkan diri kita. Hanya dengan memaafkan kita akan bisa Move On, seperti kata-kata gaul yang sering diucapkan kawula muda negeri ini. So move on! Anggap ini semua pendewasaan bagi kita semua. Kita tak akan bisa bersepeda tanpa belajar dan mengalami jatuh-bangun dulu, bukan? Saya yakin kita akan menjadi masyarakat yang dewasa, cerdas dan bertanggung jawab nantinya, hingga Demokrasi bukan hanya idiom sakral tanpa makna, namun dapat menghantarkan kita menjadi masyarakat yang modern, maju dan sejahtera. Karena itulah tujuan kita yang sebenarnya, bukan Demokrasi. Demokrasi hanyalah alat. Dapat berguna namun juga dapat memperalat kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun