Mbah Omo ... Jenderal !!!
Merdeka !!!
Mbah Omo ... Jenderal !!!
Merdeka !!!
Mbah Omo ... Jenderal !!!
Merdeka !!!
.....
Teriak anak-anak di depan rumah membuatku kaget dalam tidur siang. "Ah bikin ribut aja ntuh anak?" desahku dalam hati. Kulirik pandanganku keluar jendela kamarku, rupanya anak-anak rame menyoraki Mbah Omo tetangga sebelah rumahku. Siang itu seperti biasanya Mbah Omo baru pulang dari keliling kampung dengan sepeda ontel merek Raleighnya. Mbah Omo seorang kakek bercucu 16 dari 4 anaknya, wajahnya yang sudah renta dengan agak keriput berkaca mata hitam pakaian loreng-loreng mirip ABRI adalah ciri khasnya, makanya anak-anak suka menggodanya dengan sebutan "Mbah Omo Jenderal". Namun yang membuat tambah rame jawaban "Merdeka" secara lantang dari Mbah Omo. Terus terang aku salut pada kecintaannya pada negara ini. Terkadang dalam hatiku merasa iri untuk juga memekikan kemerdekaan itu, tapi entah kenapa malu. Begitu bangganya Mbah Omo pada kemeredekaan negeri ini, sehingga beliau tetap semangat bekerja di hari tuanya. Sebagai bekas pejuang yang tak pernah tedaftar di pemerintah, ia tak pernah menuntut pemerintah atau masyarakat sekitar untuk menghargainya ataupun menuntut materi berbeda seperti sekarang yang dilakukan oleh beberapa oknum pejabat.
Beliau mempunyai kehidupan yang biasa di masyrakat dan dikenal sebagai orang yang suka humor, tetapi semangat untuk mencintai negeri ini yang membuat Aku selalu iri dan ingin berbuat sepertinya.
Suatu saat aku pernah ngobrol sama Mbah Omo ketika ia membersihkan sepeda ontelnya itu.
"Wah mengkilap banget Mbah" ucapku memuji.
"Jelas ... Sepedanya Mbah Omo !" bela Mbah Omo.
"Mbah tahun berapa nich sepeda ?" tanyaku
"Sebelum kamu lahir .. Tahun 1932" ucap Mbah Omo "Sepeda ini dulu dipake sama Bapak Simbah, saat itu Bapak simbahkan kerja sebagai opsir Londo" lanjutnya
"Wah berarti Bapake simbah gak cinta Indonesia?" tanyaku
"Salah !!! Bapak Simbah cinta sekali sama Indonesia, Bapak Simbah itu meninggal saat berperang melawan Londo, saat setelah perundingan meja bundar di Denhaag!" ucap Mbah Omo
"Hebat juga yach Bapak Simbah"
"Jelas !" gaya Mbah Omo membanggakan diri.
Aku terdiam sejenak, sambil memperhatikan Mbah Omo dengan begitu mesranya membersihkan Sepeda Ontelnya.
"Mbah kalo anak-anak memanggil Simbah dengan Jenderal, emang benar tuch?" tanyaku
"He .. he... he...!" Mbah Omo tertawa kecil tak menjawab pertanyaanku.
"Kenapa Mbah?" tanyaku bingung.
"Itu ulah orang tua mereka aja, Simbah bukan jenderal, Simbah itu pernah berperang saat perang kemerdekaan" jelas Mbah Omo.
"Kok bisa simbah mendapatkan julukan Jenderal?" tanyaku penasaran
Belum simbah menjawab pertanyaanku, tiba-tiba sepeda yang dibersihkan jatuh menimpa Mbah Omo yang sedang dibawahnya membersihkan pelek. Tak ayal lagi, tubuh tua itu tak mampu menahan sepeda ontelnya, aku kaget yang disampingnya berusah menolongnya. Segera kutangkap sepeda itu, namun tak sempat hingga sepedapun jatuh mengenai tubuh dan kepala Mbah Omo tersungkur, segera kuberteriak minta tolong dan kutarik sepeda dari tubuhnya. Darah segar keluar dari kepalanya, akibat terkena batang rem. Tak berapa lama orang-orang membantu dan saling bertanya padaku. Rupanya luka di kepala Mbah Omo cukup dalam, sehingga beliau pingsan.
"Ayo kita bawa Mbah Omo ke rumah sakit" ajakku.
Orang lain pun segera bergegas memanggil becak untuk segera membawa Mbah Omo ke rumah sakit. Anak Mbah Omopun terlihat khawatir pada keadaan Bapaknya.
Tiga bulan sejak kejadian itu, Mbah Omo sudah sembuh secara fisiknya, tetapi yang membuatku merasa bersalah pikirannya sudah tidak seperti dulu. Beliau terkadang suka berteriak-teriak sendiri memekikan "Merdeka" dan berbagai kata-kata perjuangan lainnya. Dalam hatiku merasa tak pernah tenang jika mengingatnya, seandainya aku tak banyak bertanya saat itu, mungkin Mbah Omo konsentrasi pada sepedanya. "Maafkan Aku Mbah Omo!" pintaku dalam hati ini "Kudoakan cepat sembuh seperti hari-hari yang lalu". Walaupun orang lain tahu itu adalah murni kecelakaan, tetapi entah ketika teringat Mbah Omo hatiku bersalah seribu salah." Hanya Ontel jenderal Mbah Omo yang tak pernah berterima kasih pada tuannya" bisikku lirih mengakhiri lamunanku.
“Tulisan ini adalah tugas Diklat Online PPPPTK Matematika”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H