Mohon tunggu...
Rinto Tampubolon
Rinto Tampubolon Mohon Tunggu... -

Menggurat dunia maya dengan hati dan akal budi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

EIN SOF: Ketika Kemarahan Dapat Terdeteksi

5 Maret 2014   18:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:12 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi hari, ketika sinar matahari masih memberikan vitamin pada tubuh, Ein Sof berlari-lari kecil di sebuah lapangan sepak bola yang tak terurus. Ujung-ujung ilalang sesekali mematuk betisnya yang tak berselimutkan kaos kaki. Sejak mengetahui ia mengidap penyakit gula, Ein Sof mulai belajar memanfaatkan matahari pagi dengan berlari-lari kecil. Sebetulnya masih ada satu tempat yang sangat jauh lebih baik dari lapangan ini. Letaknya sekitar lima ratus meter dari rumahnya. Hanya saja untuk menikmati lapangan yang indah di pinggir danau buatan itu ia harus mengeluarkan uang dua milyar terlebih dahulu. Yah, lapangan itu adalah fasilitas untuk orang-orang yang mampu membeli rumah elit di samping tempat tinggalnya. Sebetulnya lapangannya sekarang tidak terlalu buruk untuk menjadi sarana publik dulunya. Tetapi semuanya berubah sejak pejabat yang baru ditempatkan untuk menjadi kepala GOR yang baru. Isunya semua dana pemeliharaan lapangan dipakai untuk kepentingan dirinya sendiri. Ein Sof sendiri tidak mau ambil pusing dengan perkara itu selama sinar matahari pagi tidak diambil darinya.

“Ein Sof!!”, teriakan itu membuyarkan lamunannya.

Ia menengok ke belakang, ke arah suara itu berasal. Ia melihat Kabbalah dan Keter rupanya sudah berada seratus meter darinya.

“Saya sakit hati kepadanya! Dia telah menyinggung perasaan saya! Ujar Kabbalah tanpa basa-basi.

“Apa lagi yang terjadi?” tanya Ein Sof sambil menarik nafasnya.

Dia tahu pasti ini masalah yang sama lagi.

“Leluconnya melecehkan saya” suara Kabbalah terdengar penuh amarah.

“Mengapa kamu marah ketika dia melakukan itu?”, ujar Ein Sof singkat.

“Yah karena perlakuannya itu kepada saya?” ujarnya dengan nada mulai meninggi.

“Mengapa perlakuannya sangat mengganggu kamu”.

“Ein Sof.....!!! Berbicara sama kamu ternyata jauh lebih mengesalkan dari pada berbicara sama dia”

Kabbalah akhirnya menumpahkan semua emosinya kepada Ein Sof sambil berlalu meninggalkannya.

“Ein Sof, mengapa engkau selalu bertanya MENGAPA kepada Kabbalah sampai dia menjadi marah” ujar Keter yang sedari tadi diam memperhatikan Kabbalah dan Ein Sof bercakap.

“Menurutmu mengapa dia marah ketika aku bertanya MENGAPA?” tanya Ein Sof berbalik kepada Keter.

“Apa sebenarnya yang ingin kamu sampaikan dari pertanyaanmu itu?” tanya Keter menyelidik.

Ein Sof tersenyum simpul mendengar pertanyaan Keter. Dia tahu bahwa Keter sudah mulai memahami bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik pertanyaan MENGAPAnya.

“Keter... pohon itu secara garis besar terdiri dari tiga bagian. Akar, batang, dan buah. Saya menggambarkan batang adalah perasaan-perasaan kita yang menonjol kuat, dapat di lihat dan dirasakan oleh siapapun. Buah adalah tindakan-tindakan kita yang muncul dari perasaan-perasaan itu yang dinikmati oleh orang lain. Akar adalah bagian yang menopang semua itu yang tidak terlihat tetapi ada. Ketika kita terluka, marah, kecewa, sakit hati, atau merasa terlecehkan, seringkali kita hanya berbicara tentang batang pohonnya, yaitu PERASAAN-PERASAAN KITA YANG MUNCUL karena perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang lain kepada kita. Jarang kita sesekali mau berhenti sejenak untuk menggumulkan tentang “akar”nya. Tentang APA SEBAB PERASAAN-PERASAAN ITU MUNCUL. Ketika kita mau memahami sepenuhnya kemarahan dan rasa sakit hati kita, mau tidak mau kita harus menggeser pertanyaan dari MENGAPA DIA MELAKUKAN ITU menjadi MENGAPA AKU MERASAKAN INI”, Ein Sof menjelaskan dasar pertanyaannya panjang lebar.

“Lalu apa akar dari perasaan itu?” Keter melanjutkan rasa ingin tahunya.

“Agar bahagia, bisa menjalin hubungan yang baik dan seimbang secara emosional, seseorang harus merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Rasa nyaman di mulai dengan cara memberikan dosis penghargaan diri yang cukup dan baik. Untuk merasa nyaman seseorang diajak memilih melakukan hal yang benar. Agar bisa memilih, seseorang harus mandiri, yaitu memiliki kebebasan untuk melakukan hal yang benar”, Ujar Ein Sof sambil tersenyum.

Matahari sudah mulai meninggi. Itu tanda bahwa sinar matahari tidal lagi menjadi baik untuk kulitnya. Ein Sof mengajak Keter untuk berbincang sambil berjalan pulang.

“Keter apakah kamu pernah memperhatikan, bahwa ketika kita membuat sebuah keputusan dalam hidup, selalu ada kombinasi dari tiga motivasi: pertama, kita memilih apa yang terasa nyaman; kedua, kita memilih apa yang membuat kita terlihat baik; ketiga, kita memilih untuk melakukan apa yang baik atau benar”, Ein Sof berbicara sambil memperlambat langkahnya.

“Lalu?”, tanya Keter belum mengerti sepenuhnya maksud perkataan itu.

“Dua motivasi pertama membentuk penghargaan diri kita, sementara motivasi yang ketiga membuat kita merasa nyaman dengan diri kita sendiri. Ketika kita memilih untuk melakukan sesuatu hanya karena ini terasa nyaman , meskipun kita tahu bahwa ini mungkin sesuatu yang salah, maka hal itu justru merampas kemandirian kita atau kendali kita terhadap diri sendiri. Ini artinya kita menjadi hamba dari nafsu kita sendiri. Kita akan marah dan terluka ketika kenyamanan kita terganggu. Cobalah ganggu kenyamanan seekor hewan, maka dia akan marah dan tak jarang berbalik menyerang”, ujarnya berupaya memperjelas maksunya.

“Sudah selesai pak larinya?”, ujar bapak penjaga GOR tiba-tiba memotong percakapan mereka.

“Sudah pak, sudah keringatan”, Ein Sof sejenak menghentikan pembicaraannya dengan Keter untuk menyapa balik bapak penjaga GOR.

“Apabila kita melakukan sesuatu hanya karena hal itu membuat kita terlihat baik dihadapan diri kita dan orang lain, padahal kita tahu itu salah, maka kita hidup tidak lagi untuk memberikan penghargaan terhadap diri sendiri melainkan untuk sebuah citra. Ketika kita disetir oleh motivasi ini, maka kita tidak lagi menjadi mandiri dan kita kehilangan kedamaian hati. Kita hidup bukan karena didasarkan pada apa yang baik, tetapi pada apa yang membuat kita terlihat baik. Tidak heran kalau kita akan berjuang keras untuk mendapatkan penghormatan dan penghargaan orang lain di satu sisi, tetapi sangat mudah terluka ketika orang lain tidak memberikannya di sisi lain. Sebab itu, supaya merasa damai dan baik, maka kita harusnya berbuat baik. Jika kita berusaha untuk mendapatkan rasa aman disekitar kita, sering kali kita justru akan jatuh pada rasa tidak nyaman. Rasa tidak nyaman kita membuat konflik seperti api yang tak terpadamkan”, ujar Ein Sof dengan tenang.

“Sekarang menurutmu mengapa Kabbalah begitu sangat marah dan terlukanya pada orang lain hanya karena sebuah lelucon?”, tanya Ein Sof dengan tersenyum.

Keter mengangkat bahunya sambil membalas senyum Ein Sof.

“Cobalah pikirkan itu”, ujar Ein Sof tepat di luar pintu gerbang GOR sambil menepuk bahunya Keter sebagai tanda perpisahan.

“Yah ”, ujar Keter sambil menarik nafas.

"Kemarahan ternyata tidak sesederhana apa yang ditampilkan", pikir Keter sambil meninggalkan GOR yang sudah mulai sepi.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun