Teman di klub motor pernah menceritakan pengalaman tinggal di Jepang. Bagaimana dia melihat para pelajar Jepang diwajibkan untuk memakai sepeda angin atau menggunakan transportasi umum/sekolah yang disediakan. Dilarang untuk menggunakan kendaraan bermotor pribadi ataupun diantar. Jadi kalau ada yang kesiangan, terpaksa diantar memakai mobil pribadi orang tuanya, namun diparkir agak jauh dari sekolahan. Kalau sampai ketahuan pihak sekolah bisa lain ceritanya. Demikian kisahnya. Mantan pacar saya yang sekarang sudah sah menjadi istri juga menceritakan hal serupa saat sebulan training di Jepang; moda transportasi massal di Jepang sangat-sangat maju dan modern. Semua tertata rapi. lebih banyak yang naik angkutan umum daripada kendaraan pribadi. Trotoar dan jalur sepeda yang lebar dan bersih menambah nyaman para pejalan kaki dan pesepeda di sana. Rekan blogger otomotif beberapa hari lalu mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Jepang, ketakjubannya akan transportasi massal di negeri Sakura tersebut diposting di blognya beserta foto-foto suasana jalanan kota tersibuk namun alergi dengan namanya macet. "Padahal negara industri otomotif utama, namun jarang terlihat mobil pribadi melintas," ucapnya. Lain Jepang lain Indonesia. Ambil contoh Jakarta, ibu kota negara besar ini. Kemacetan selalu terjadi setiap helaan nafas para pengguna jalan, kecuali saat mudik saja sepertinya. Padahal kita bukan salah satu negara industri otomotif terkemuka di dunia. Namun produk otomotif berupa mobil dan motor sangat banyak mondar-mandir di jalanan ibu kota dengan beragam merek dari Amerika, Eropa dan Asia. Karena banyaknya sampai luber ke trotoar, mampet dan macet, akibat jalan yang tersedia tidak mampu menampungnya. Di Jepang sendiri meskipun negara ini diakui sebagai penghasil produk-produk otomotif kelas dunia yang merek-merek dagangnya sudah sangat kita kenal, namun penduduknya lebih memilih menggunakan sarana transportasi massal yang sudah tersedia daripada menggunakan motor atau mobil. Kok bisa? Biaya parkir di Jepang sangat mahal kira-kira 200 - 300 yen / jam itu dipinggiran kota. Sedang di pusat kota Tokyo bisa mencapai 800 yen per jamnya. Coba dibandingkan dengan harga tiket Tokyo Metro yang hanya 130 yen, relatif murah bukan? Belum harga bbm di sana yang mencapai kisaran 181 yen per liter, kalau dirupiahkan kira-kira 20.000 rupiah / liter. Ini kiranya yang membuat mereka memilih angkutan umum daripada menggunakan motor atau mobil. Penggunaan kendaraan pribadi kebanyakan hanya dilakukan pada akhir pekan bersama keluarga. Belum lagi kenyamanan yang didapat saat menggunakan angkutan umum, banyak pilihan. Jauh berbeda dibanding Jakarta. Tidak usah diperinci semua juga maklum. Kenapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya mudah saja. Kita tidak memiliki moda transportasi massal yang rapi, apik, terpadu dan modern seperti kota-kota besar di negara-negara maju. Bukannya belum ada tapi memang tidak ada dan sepertinya tidak akan pernah ada. Tidak ada keseriusan pemerintah untuk merapikan sarana transportasi massal yang ada saat ini. Tidak ada niat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitasnya. TransJakarta itu saja terobosan atasi kemacetan yang saat ini sudah diimplementasikan oleh Pemprov DKI. Baru itu saja senjata satu-satunya punya ibu kota negara,  selebihnya menunggu waktu, itupun kalau ingat. Monorail yang digadang-gadang akan dibangun seperti monorail Kuala Lumpur hingga saat ini hanya tiang pancang yang berdiri.  Kontruksi tiang yang dibangun sejak tahun 2004 tujuh tahun silam hanya menjadi monumen tak bernama. Kalau kita coba kilas balik ke belakang, dulu Jakarta mempunyai moda transportasi layaknya kota maju di luar negeri. Tahun 1869 di Batavia yang sekarang menjadi Jakarta sudah ada moda transportasi massal yang jaman itu menjadi primadona, trem yang ditarik oleh kuda, yang kemudian diganti dengan trem uap dan selanjutkan diganti dengan trem listrik. Trem dalam kota ini melayani lima jalur; seperti Menteng - Kramat - Jakarta Kota. Senen - Gunung Sahari. Menteng - Merdeka Timur - Harmoni. Menteng - Tanah Abang - Harmoni. Namun pada tahun 1960, era pemerintahan Soekarno nama trem dihapus dari daftar moda transportasi umum karena dianggap tidak cocok untuk Jakarta. Era tahun 90-an pasti pembaca masih ingat, kita sempat mempunyai bus tingkat yang bersliweran di jalanan ibu kota. Namun nasib bus tingkat ini sama persis dengan Trem pendahulunya, dianggap keong berjalan dan tidak cocok untuk jalanan ibu kota. Bus Tingkat itupun kini menjadi barang rongsokan dimakan karat, pun kalau ada yang masih utuh wujudnya itu karena disulap menjadi Distro pakaian di bilangan Blok M. Satu lagi transportasi massal ibu kota era 90-an, Bus Gandeng yang melayani jalur Grogol - TMII pp. Nasibnya juga sama seperti dua saudaranya, hanya beroperasi sebentar dan akhirnya lenyap ditelan debu Jakarta. Namun era bus gandeng sepertinya akan kembali eksis karena Pemprov DKI berencana mengadakan bus gandeng TransJakarta sebanyak 44 unit pada akhir tahun ini. Semoga tidak dibilang menjadi salah satu biang kemacetan nantinya, coba kacamatanya dibalik. Pembodohan tanpa kita sadari Seharusnya dan sebenarnya pemerintah kita sangat mampu untuk menyediakan sarana dan prasarana transportasi massal untuk warganya. Kita mempunyai sumber daya manusia dan alam yang berlimpah, mustahil kita tidak bisa menerapkannya dalam bidang mass transportationdi kota-kota besar tanah air. Menurut sebuah survey 56% warga Jakarta masih tergantung kepada yang namanya transportasi publik. Namun dari sekitar 12 juta jiwa penduduk ibu kota, hanya 300 ribu penumpang yang bisa diangkut oleh TransJakarta. Sangat tidak berimbang antara sarana dan pengguna, efeknya mau tidak mau calon penumpang terpaksa atau dipaksa beralih ke kendaraan pribadi, motor salah satunya. Ini penyebab pertama. Ada pembiaran secara sistimatis agar masyarakat beralih dari transportasi massal ke kendaraan pribadi. Pemberian kredit kendaraan bermotor yang sangat murah sebagai indikator kedua. Bayangkan hanya dengan menyetor 500 ribu rupiah sudah bisa membawa pulang motor. Atau dengan uang muka 2,5 juta sudah bisa membawa mobil niaga keluaran terbaru. Lumrah bila data Polda Metro Jaya menyebutkan akan ada 12 juta kendaraan hilir mudik pada tahun 2011 di jalan Jakarta. Angka tersebut berdasarkan perkiraan dari data yang didapat pada tahun 2010 yang terdiri dari 8.244.346 unit kendaraan roda dua dan 3.118.050 unit kendaraan roda empat. Indikator ketiga, pemberian BBM bersubsidi untuk semua kendaraan pribadi bukan hanya untuk angkutan umum saja. Bukan hal aneh bila melihat di pom bensin angkot satu antrian dengan mobil pribadi keluaran terbaru, sama-sama mengantri BBM bersubsidi. Bagaimana tarif penumpang dapat ditekan serendah dan stabil mungkin bila angkutan umum harus bersaing mendapatkan BBM bersubsidi dengan mobil pribadi. Keempat. Pembangunan jalan tol baru, lingkar jalan tol baru lebih diutamakan daripada membangun, menambah atau memperbaiki mass transportation yang bernama Kereta Api ataupun KRL. Maklum sepertinya pemasukan dari tarif tol lebih menguntungkan dan cepat balik modal daripada harus membangun jalur KRL atau Kereta Api yang efesien, cepat, ekonomis dan nyaman. Dari keempat indikator tersebut diatas; langkanya angkutan umum kota, pembiayaan kredit murah, BBM bersubsidi dan pembangunan jalan tol baru dapat ditarik benang merah mengapa akhirnya masyarakat berlomba-lomba memiliki kendaraan pribadi. Tidak cukup satu, tapi dua, tiga dan seterusnya. Kepemilikan kendaraan pribadi tentu berdampak positif pada pendapatan kas daerah, di mana kas bakal lebih cepat menggelembung yang diperoleh dari kontribusi pajak kendaraan bermotor. Fitnah kamu? Tenang dulu. Mari kita hitung sama-sama, data boleh diambil dari data milik Polda Metro Jaya 2010 lalu yang sudah ditulis di atas, ada 8 juta lebih unit kendaraan roda dua di Jakarta. Lalu coba buka STNK anda, dari data yang saya dapat untuk motor bebek merk Honda tahun 2010 itu pajaknya kisaran Rp 200.00 - Rp 225.500 rupiah, sedangkan untuk bebek Jupiter dari Yamaha sekitar Rp 292.000. Ambil nilai tengahnya kira-kira Rp 240.000.  Kalikan saja 8 juta motor X 240 ribu rupiah = Rp 1.920.000.000.000 (1,9 T) per tahun, jelas angka yang sangat menggiurkan. Itu baru motor, untuk mobil silahkan pembaca menghitung sendiri, kalkulator saya tidak mencukupi angkanya. Dari angka-angka yang tersaji wajar bila ada masyarakat yang berpendapat pemerintah selama ini ternyata telah melakukan penipuan terselubung, pembodohan massal. Alih-alih menyediakan sarana transportasi massal untuk warganya, namun malah menyediakan tunggangan massal bagi kapitalis untuk kepentingan golongan dan segelintir cukong. Tidak akan pernah macet itu akan terurai dan selamat menikmatinya dengan kesabaran tingkat tinggi kawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H