Mohon tunggu...
Muharto Hadiwidjaja
Muharto Hadiwidjaja Mohon Tunggu... -

Membaca, mengamati, memperhatikan, menganalisa, dan tersadar..lho ternyata saya masih ada di dunia yang sama.\r\nColoteh lainnya bisa ditemukan di www.totosociety.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Petrus Solusi Terakhir Berantas Preman?

4 Maret 2012   14:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:30 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir – akhir ini kata preman sepertinya lagi naik daun dengan mendominasi ruang media massa baik cetak maupun elektronik. Dari kasus penangkapan disertai penembakan seorang ketua sekaligus tokoh preman asal Kepulauan Kei di Maluku, John Kei, hingga penyerbuan yang mengakibatkan kematian dua orang di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat oleh kelompok preman asal Ambon, yang juga merupakan bagian dari Maluku. Dua kasus di atas hanyalah sedikit dari banyaknya kasus premanisme di Indonesia yang menurut pakar budaya tanah air, aksi premanisme itu sendiri sudah ada di Indonesia sejak jaman penjajahan dahulu. Jaman itu penjajah mempekerjakan para centeng yang merupakan warga pribumi untuk menakut-nakuti warga sipil demi kepentingan penguasa. Preman Kakap dan Preman Teri Saat inipun ada indikator ke arah sana bahwa para penguasa negeri ini sengaja “memelihara” preman untuk menjaga dan menjalankan kepentingan dirinya dan juga golongannya. Kelompok preman ini dikatagorikan preman kelas kakap, yaitu preman yang sudah tidak bermain dengan uang recehan dan berkotor-kotoran di kolong jembatan atau bercapek-capekan dikejar-kejar polisi. Karena aparat menjadi bagian sebagai penyokong kekuatan mereka dari belakang. Ingat saat aksi reformasi pertama kali memanas di negeri ini yang menjadi awal runtuhnya rejim Orde Baru? Kala itu nama Pam Swakarsa mencuat sebagai kelompok masyarakat yang melindungi kepentingan Orde Baru yang sengaja disetting untuk berhadap-hadapan dengan mahasiswa dan warga masyarakat lainnya. Masyarakat pro versus masyarakat kontra yang notabene sama-sama warga negara Indonesia. Kemana militer? kemana pihak aparat? mereka ada, namun memposisikan diri di belakang barisan masyarakat yang bernama Pam Swakarsa tersebut. Kembali ke aksi premanisme saat ini. Banyak sekali organisasi masyarakat dan atau organisasi kepemudaan yang akhirnya mempraktekkan aksi premanisme dalam menjalankan dan memenuhi kebutuhan dapurnya. Ada yang menjual jasa sebagai Debt Collector, jasa pengamanan klub-klub malam, jasa pengamanan parkir, pasar dan lahan sengketa. Narkoba hingga perdagangan manusia, dan masih banyak lagi jasa yang bisa mereka tawarkan sesuai permintaan, kalau perlu menyediakan jasa menyediakan massa demonstrasi tandingan sehingga masyarakat awam akan terpecah antara pro versus kontra. Untuk preman kelas teri lain lagi, kelompok kelas ini bermain recehan dan bukan merupakan kelompok besar. Preman teri ini terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang menjalankan aksi copet, pungli, malak, judi dan biasanya beroperasi di kolong jembatan, terminal, stasiun dan tempat-tempat publik lainnya. Aksi mereka kasar, kotor dan tidak bermain bersih.Preman yang masuk kelompok ini merupakan sasaran rutin dari aksi kependudukan dan razia aparat. Karena preman kelas ini relatif lebih mudah diberantas tanpa ada efek yang dapat berbuntut panjang. Sekali sikat!! Selesai! Tapi tidak dengan preman elite yang sudah disebut di atas. Perlakuan terhadap mereka tidak bisa asal tangkap seperti kasus yang menimpa preman teri. Apalagi banyak preman elite yang berlindung di ketiak ormas yang berbadan hukum alias legal di mata hukum. Sebut saja ormas seperti Pemuda Pancasila, FBR, Forkabi, Amkei hingga ormas yang mengatasnamakan Islam, semisal FPI. Kita tidak mungkin menutup mata dan telinga selamanya akan banyak aksi premanisme anggota-anggota ormas tersebut khususnya aksi mereka di ibukota negara, Jakarta. Parahnya lagi banyak kelompok preman kakap di Jakarta terkelompok-kelompok menurut kesukuan atau asal daerah. Batak, Betawi, Banten, Flores, Ambon, Timor dan banyak lagi merupakan contoh kelompok kedaerahan yang memiliki ikatan kuat masing-masing anggotanya sebagai sesama perantauan di Jakarta . Tentunya mengatasi kelompok-kelompok preman ini harus dengan perlakuan khusus, tidak asal merazia seperti menghadapi preman kelas teri. Apalagi kelompok-kelompok ini bermain dengan cara bersih dan dekat dengan kekuasaan penguasa negeri ini. Tidak percaya? Kasus Ambon semisal, kerusuhan perang saudara antara ikat merah dan putih, perang dengan nuansa SARA yang sangat kental antara penduduk Islam dan Kristen diindikasikan terjadi akibat ulah kelompok preman di Jakarta yang didukung oleh penguasa saat itu. Padahal pemeluk Islam dan Kristen di Ambon sudah sangat lama saling berpelukan seperti saudara sendiri. Terbukti betapa mempunyai efek sangat kuat kelompok – kelompok preman tersebut. Solusi tepat apa untuk memberantas premanisme di Indonesia? Sebuah  majalah nasional yang selama ini isi beritanya sangat berbobot  dan sering mengangkat tema-tema khusus, di mana  kerena salah satu liputan khususnya pernah menyinggung pihak tertentu yang mengakibatkan kantor redaksinya diserbu kelompok preman mengangkat topik preman ini dalam polling di media onlinenya. Jajak pendapat itu berjudul ‘Setujukah Anda jika pemerintah kembali melakukan operasi Penembakan Misterius untuk memberantas premanisme? Dari total 1000 pembaca yang memberikan pendapatnya, sekitar 84,63% setuju bila aksi premanisme yang saat ini semakin berani memperlihatkan batang hidungnya harus diberantas dengan penembakan misterius atau biasa disebut Petrus. Lalu apakah memang Petrus merupakan solusi tepat untuk memberantas premanisme saat ini? Petrus atau penembakan misterius memang pernah dilakukan di Indonesia saat Orde Baru, sekitar tahun 1983. Walaupun secara resmi pemerintah saat itu hingga sekarang tidak pernah mengakui kepada publik pernah memerintahkan Petrus untuk membasmi aksi premanisme yang marak kala itu. Namun hal tersebut sudah menjadi rahasia umum, bahwa pemerintah orde barulah yang memerintahkan aksi khusus tersebut. Namanya juga operasi rahasia bukan? Memang Petrus saat itu merupakan obat yang sangat mujarab dan merupakan shock therapy paling ‘cespleng’ sehingga tingkat premanisme turun sangat drastis selama periode Petrus gencar dilaksanakan, 1983-1985. Tidak hanya pentolan-pentolan preman dan residivis yang ciut nyalinya, anak-anak muda yang mentatto bagian tubuhnya juga sempat dibuat ketakutan terkena imbas dari aksi penembakan misterius. Sepertinya suasana saat itu sangat mencekam kalau kita mencoba mereka ulang kejadian tersebut. Tetapi turunnya tingkat premanisme tidak berlaku permanen dan dalam tempo yang tidak lama setelah aksi Petrus selesai tingkat premanisme kembali meningkat, merebak seperti bibit jamur di musim hujan. Petrus hanya obat instan untuk mengobati jamur tersebut, butuh obat berdosis rendah namun mujarab dan permanen hasilnya. Apa itu? Kalau kita melihat tempat kejadian aksi premanisme, di mana tempat paling banyak dan mencolok terjadinya premanisme tersebut? Jakarta bukan? Tepat sekali! Jakarta!!! Dari alasan awal terjadinya Petrus tahun 83 hingga saat ini, Jakarta lah merupakan kota yang paling banyak mengalami aksi premanisme di Indonesia. Dan aksi ini dilakukan kebanyakan oleh para pendatang luar Jakarta, bahkan luar Jawa. Sebut saja Flores, Ambon, Maluku, Batak dan Timor. Ini menandakan bahwa Jakarta masih merupakan tempat untuk memperebutkan “kue” terlezat dan termahal. Jakarta masih menjadi magnet kuat untuk menarik penduduk Indonesia berbondong-bondong berebut rejeki di sana. Tentunya berdampak dengan meningkatnya aksi kriminalitas dan premanisme di ibu kota. Karena banyak pendatang tidak melengkapi diri dengan skill yang dibutuhkan melainkan hanya otot semata. Jadi, lagi-lagi masalah “UUD” alias ujung-ujungnya duit sebagai solusi paling tepat. Tingkat ekonomi dan pemerataan ekonomi yang harus digalakkan ke daerah-daerah yang banyak meng”ekspor” kelompok preman ke ibu kota negara ini yang semestinya dijalankan oleh pemerintah pusat. Memang saat ini otonomi daerah sudah dijalankan oleh pemerintahan SBY untuk membantu daerah mengejar ketertinggalan akan Jawa dan Jakarta. Namun semua memang perlu waktu dan perlu didukung oleh pemerintahan daerah yang kuat, bersih dan profesional sehingga pertumbuhan ekonomi daerahnya mampu berlari kencang. Meskipun otonomi daerah sudah berjalan, pemerintah pusat tidak serta merta menutup mata terhadap permasalah di daerah-daerah tersebut. Karena bagaimanapun Jakarta dan Jawa masih merupakan pusatnya bisnis, perdagangan dan ekonomi karena sudah didukung oleh sarana dan prasarana yang sangat baik dibanding dengan sarana dan prasarana serupa di luar Pulau Jawa. Perlu niat lebih dari pemerintah pusat agar pusat bisnis dan perdagangan yang tersentral di Jawa bisa disebar ke seluruh Indonesia, terutama di pulau-pulau besar tanah air: Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Irian. Solusi terakhir namun bukan solusi tepat pemberantasan premanisme secara langsung, sepertinya wacana pemindahan Ibukota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan harus benar-benar dilaksanakan segera. Wacana yang pertama kali tercetus sejak era Soekarno ini bisa memberikan sedikit ruang lega bagi Jakarta. Jadi akan menjadikan Jakarta hanya sebagai kota bisnis, industri dan central ekonomi. Sedangkan pusat pemerintahannya berpindah ke Kalimantan. Dengan pemindahan ibukota maka diharapkan penataan kota baru sebagai ibukota negara benar-benar dimulai dari awal. Tata kota yang terencana tentu akan membebaskan ibukota baru tersebut dari banjir musiman yang saat ini menimpa Jakarta. Dengan penataan dari awal maka kemacetan jauh-jauh hari bisa diantisipasi. Pun dengan tingkat kriminalitas akan dapat dinetralisir bila Ibukota Indonesia yang baru itu benar-benar berdiri. Dengan kata lain, ibukota negara terbebas dari aksi premanisme. Memang butuh dana sangat besar untuk proyek pemindahan ibukota ini dibanding dengan solusi yang berbiaya sangat murah, Petrus! Memang butuh waktu yang cukup lama untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi pada era otonomi daerah saat ini daripada solusi singkat dan tepat pemberantasan preman dengan cara Petrus! Tetapi dua program tadi: pemerataan dan perpindahan ibukota lebih mempunyai efek yang permanen dan menjadikan negara ini lebih beradab daripada hanya mengandalkan operasi rahasia bernama Petrus yang pasti lembaga HAM tidak akan tinggal diam bila operasi rahasia ini kembali digelar. Jadi….masihkan Petrus menjadi pilihan terakhir untuk memberantas premanisme di Indonesia? Jawaban saya kembalikan kepada para kawan semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun