Fenomena kekerasan yang dilakukan oleh generasi milenial yang kian hari kian meningkat bukan saja frequensinya tetapi tingkat kekerasan yang terjadi pada saat ini sungguh sangat kita sayangkan karena  bukan sekedar dalam kategori kenakalan lagi, seperti halnya tawuran atau klithih namun peristiwa terakhir yang terjadi sudah berada pada level tertinggi yaitu penghilangan nyawa manusia (pembuhuhan berencana sepertihalnya peristiwa pada awal pertengahan bulan ini) dimana pelaku yang masih berusia sekolah ini tidak ada rasa sesal sedikitpun.
Ada banyak faktor yang melatar belakangi dan mempengaruhi pikiran seseorang untuk berani berbuat demikian, namun secara jelas tersirat dari berbagai peristiwa tersebut dapat ditarik benang merahnya yaitu semakin lemahnya norma-norma yang ditanamkan oleh berbagai institusi yang tidak kuat membendung gempuran arus informasi dan hilangnya figur tuntunan sehingga karakter pribadi generasi milenial tumbuh liar. Hal ini sangat mencolok sekali dimana generasi yang memiliki kecerdasan akan mampu melesat dengan cepat namun begitu juga sebaliknya generasi yang terperosok mengalami psikopatologi juga tumbuh berkembang tanpa kontrol lagi. Semua peristiwa kekerasan di kalangan generasi milenial ini akibat rendahnya kualitas moral edukasi dalam keluarga, lingkungan pergaulan, lingkungan sosial dan terakhir adalah peran negara.
Lembaga keluarga adalah institusi terkecil dalam masyarakat memiliki peran yang besar dalam membentuk karakter generasi milenial karena hubungan antar manusia menjadi menurun dan peran orang tua lambat laun tergantikan dengan kemudahan akses tehnologi informasi yang bebas tanpa filter lagi sehingga semua informasi akan ditelan secara mentah oleh generasi pada saat ini.
Tidak menutup kemungkinan maka conten yang disajikan baik itu melalui televisi maupun internet akan membentuk karakter egoistik dan menipisnya orientasi humaniora sehingga tidak heran akan melahirkan generasi zombie yang perwatakannya bukan manusia seutuhnya lagi. Bagaikan lautan es fenomena "pemberontakan dimulai dari lingkungan keluarga" yang tampil sebagai anak manis, santun, taat, namun menyimpan sakit hati atas ketidakpuasan kasih sayang dalam keluarga yang bahagia.
Lembaga sekolah juga hanya berorientasi luaran untuk menghasilkan lulusan yang memiliki nilai bagus, berpatokan pada standart berdasarkan kurikulum yang menerapkan standart formal, apalagi dengan penghapusan pelajaran yang mengasah moral misalnya penghapusan pelajaran budi pekerti, pelajaran pendidikan moral Pancasila dan saat ini hanya mengandalkan pelajaran pendidikan agama yang hanya mengajarkan hafalan tanpa edukasi praksis implementatif dalam keseharian, sehingga disinilah titik lemahnya dunia pendidikan yang ditengarai sebagai awal munculnya virus-virus yang melahirkan ajaran kekerasan ditengah generasi milenial mencari jatidirinya.
Bersatunya kelompok barisan sakit hati di lembaga sekolah ini pada akhirnya mendorong kelompok baru yang sering kita jumpai secara berkelompok berani melakukan perkelahian antar pelajar, tawuran atau bahkan sampai pada tahap klithih yang alasannya klasik yaitu balas dendam terhadap generasi sebaya mereka diluar jam kegiatan sekolah yang terkadang juga menyasar kepada masyarakat umum. Ditengarai disinilah gagalnya lembaga sekolah dimana semakin unggul sekolah itu maka akan ditandai dengan persaingan diluar urusan studi diluar kontrol pihak sekolah yakni bermunculnya kelompok generasi yang siap bertarung adu kekuatan secara fisik.
Lembaga agama yang seharusnya menjadi panduan pokok dalam kehidupan seolah tidak berdaya, karena kecenderungan kegiatan keagamaan terpolarisasi yang seringkali dipahami sebagai pertarungan ideologi, banyak ceramah agama orientasinya pada ceramah kehidupan surgawi yang menyesatkan karena kontekstualisasinya tidak aplikatif dalam kehidupan, ceramah kadang bernuansa provokatif atau mengabaikan pluralitas, Â banyak menghibur karena lucunya, malah terkadang juga bermuatan penghinaan, penodaan, pelecehan terhadap pandangan keyakinan dan lemahnya hubungan kerjasama antar lembaga keagamaan.
Bagi kelompok milenial hal ini akan dianggap sebagai angin lalu yang tidak ada manfaat apapun sehingga kaum muda ini akan menghindari ruang suci ini, akibatnya generasi milenial akan mudah jatuh cinta pada dunia kekerasan daripada kegiatan lembaga agama yang menjadi sumber etik manusia selama ini.
Lingkungan sosial masyarakat juga memiliki budaya etik dan sopan santun, biasanya kaum milenial akan mudah sekali menyelinap dalam masyarakat yang aturannya kendur apalagi di lingkungan perkotaan yang biasanya aturan semacam ini bukan sebagai rujukan lagi, sedangkan di pedesaan ikatan semacam ini selalu kuat atau setidaknya warningnya lebih bagus. Sinyalemen kita mengindikasi bahwa banyak peristiwa memilukan justru terjadi di perkotaan akibat kompleksitas persoalan yang lebih banyak memberi pengaruh generasi milenial.
Fenomena budaya kekerasan yang sering kita jumpai disekitar kita menurut hemat saya sudah merupakan suatu penyimpangan kejiwaan baik secara individual (psikopatologis) maupun gangguan secara komunal dimana kontrol sosialnya lemah (sosiopatologis) karena terkadang masyarakat permisif dalam menghadapi gangguan keamanan dan kekerasan yang ada disekitarnya.
Dalam stadium awal gangguan kejiwaan dipahami sebagai bentuk waham terinduksi (shared physicotic disorder) yaitu gangguan ditandai oleh transfer waham  dari orang satu kepada orang lain hingga pada tingkatan lanjut orang pertama yang mengalami gangguan mempunyai gangguan kronis akan langsung terpengaruh dan tersugesti, mudah tertipu, kurang cerdas, kurang menghargai diri sendiri dan akibatnya akan terperosok jauh sebagai psikopat.