Mohon tunggu...
Totok Handoko
Totok Handoko Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

tinggal di jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bisa Saja

23 Desember 2012   18:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:08 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mari melanjutkan malam dengan segudang angan yang terus tersulut. Seakan tiap inci kehidupan sesalu mengandung unsur masalah. Ketika agama yang harusnya mendamaikan, disalah artikan menjadi kekerasan. Yang harusnya mencerdaskan, malahan hanya mengumbar kebohongan belaka. Jangan-janga mereka memang telah dipasangi kacamata kuda. Atau memang lambat laun semua akan seperti itu?

Bagiku agama adalah semacam pintu masuk saja. Perkara apa yang dilakukan setelah masuk, terserah. Asal tidak merugikan orang lain. Surga atau neraka urusan kelak dan masing-masing. Bukankah kita sama-sama tidak tahu pasti kebenarannya. Hanya yang pasti adalah kita sekarang berada di panggung dunia yang pelik. Maka, tidak usah menunggu mati untuk melakukan sebuah kebaikan.

Tidakkah ada yang mau sedikit berpikir realistis, ketika catatan sejarah menunjukan sebuah gejala. Miskin, perang, dan segala hal yang seharusnya tidak ada di raup bumi ini, tak pernah sirna. Bagi yang ngakunya beragama, dalam kitab yang disucikan masing-masing agama sudah terpapar jelas. Tuhan adalah urusan tiap hati dengan Tuhannya. Bukan lantas kehendak yang harus dipaksakan. Karena kebenaran sifatnya hanya nisbi.

Dan kompleksitas jejak ruang dan waktu memaksa kita memasuki sebuah kondisi dan situasi yang berbeda. Dimana kebenaran akan selalu diuji untuk menyiasati persoalan yang ada. Dan sifatnya selalu berubah. Benar untuk saat ini belum tentu benar untuk nanti. Bukankah bagiku agamaku, dan bagimu agamamu? Jangan dipertentangkan lagi.

Tiap orang adalah pemikir. Karena dianugrahi akal pikir, tapi bagi yang mau. Yang tidak menggunakan pikirannya, maka tidak pernah akan maju. Dan isi pembicarannya akan selalu dikungkung sesuatu yang dinamai tabu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun