Tahun baru Islam yang ditandai dengan kalender Hijriyah secara matematis telah memasuki hitungan 1441 tahun peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah. Secara harafiah proses perpindahan itu mengandung banyak cerita bermakna. Kedatangan rombongan Nabi yang disertai oleh kaum Muhajirin (yang berpindah) diterima suka cita oleh kaum Anshar (Ansor, penduduk pribumi /setempat). Ada prosesi kultural dari masyarakat jahiliyah yang senantiasa diceritakan penuh dengan kisah barbarian, tanpa aturan dan etika ke masyarakat yang islamiyah dengan aturan, etika dan budaya Qur'ani. Dari pemahaman ini, peringatan tahun baru bagi umat Islam sebenarnya merupakan refleksi budaya dalam arti luas. Daya (dan usaha tentunya) agar senantiasa berpedoman pada budi pekerti Islamiyah yang konsisten (itiqamah) memedomani Al Qur'an beserta maknanya sebagai pedoman hidup dan kehidupan segenap umat. Meneladani perilaku Nabi Muhammad SAW sebagai manusia paripurna. Rosul pembawa risalah kenabian yang ditetapkanNya sebagai nabi akhir jaman, menyempurnakan risalah nabi-nabi sebelum kehadirannya.
Hijrah dapat dimaknai perubahan sebagai keniscayaan. Secara alamiah mungkin akan berlangsung lama dan tidak banyak menguras energi, Namun efektifitasnya sepadan dengan irama pelakunya. Jika berdaya cukup kuat, dengan niat yang kuat pula, menuju perbaikan diri ke arah yang mendekati paripurna tentu memerlukan kiat-kiat khas. Dan yang sangat pasti adalah kehendakNya. Jika Allah SWT berkehendak, apapun terjadi. Yang semula malas dapat berbalik arah menjadi sangat rajin beribadah. Begitu mudahnya Sang Khalik membolak-balikkan hati manusia. Ya muqollibal qulubi, tsabbit qolbi 'ala dinika (Wahai dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan kami dalam agamaMu - HR. At-Tirmidzi).
Dari banyak kisah yang saya baca dan dengar lewat ceramah agama di berbagai kesempatan, perilaku terpuji dari Nabi Muhammad adalah konsistensi memelihara sifat (senantiasa) dapat dipercaya, jujur, menyampaikan dan cerdas. Bagi kita yang hidup di jaman kini, boleh jadi, dua sifat terakhir merupakan tujuan perubahan. Menyampaikan ( tabligh) berita, kisah dan mungkin pesan-pesan keagamaan baik yang tersurat maupun tersirat memang perlu dilakukan dengan cerdas. Kecerdasan yang terasah dari proses belajar dan telah dikehendakiNya. Dapat dipercaya isi atau sumbernya serta jujur dalam menyampaikan kebenaran. Dua hal terakhir inilah yang saya rasa cukup sulit dilakukan jika tanpa landasan kuat: tawadhu' .
“ Tidaklah Allah menambah pada seorang hamba yang memaafkan kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seseorang rendah hati karena Allah, kecuali Allah akan meninggikan orang tersebut”. (H.R. Muslim).
Dalam keseharian, acapkali kita mudah tersinggung atau meradang ketika teman, saudara atau orang yang tidak dikenal sekalipun menyebarkan kabar berita yang tak jelas sumber dan ujung pangkalnya. Apalagi yang menyangkut "harga diri". Banyak contoh kasus yang membuat hal biasa menjadi berkesan luar biasa karena kepiawaian seseorang dalam mengemas berita. Jika tentang kebaikan dan bermanfaat bagi umat, tentu yang diharapkan. Namun tidak sedikit yang melakukan hal sebaliknya. Mungkin saja berita itu jadi viral dan menguntungkan dirinya dalam hal tertentu. Cara yang tidak sesuai dengan sifat-sifat kenabian Muhammad SAW yang senantiasa menyampaikan pesan dengan jujur, dapat dipercaya dan cerdas.
Meneladani sifat pembawa syafa'at di yaumil akhir bukan sekadar lisan yang kerap diamini umat dalam majelis ta'lim. Perlu energi besar untuk memulainya dengan sifat tawadhu' dan istiqomah .
Saya teringat satu pesan mbah Limin, ulama kampung yang enggan disebut kyai atau ustadz. Kun pariyan fayakun pakisan. Jadilah seperti padi yang semakin berisi kian menunduk. Bukan seperti pohon pakis ketika mudanya begitu kokoh dan menjulang, sebaliknya di masa tuanya lemah tak berdaya.
Semoga manfaat dan mohon maaf jika tidak paripurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H