Pada dasawarsa 1980an atau sebelum itu, para penjual lontong berkuah khas dengan sayuran tauge, bersambal petis udang asli Sidoarjo dengan irisan tahu goreng dan lentho dijajakan pedagang keliling dengan wadah dan cara yang khas pula.Â
Wadah yang biasa dipakai untuk menyimpan kuah berbahan tembikar atau biasa disebut gentong. Para penjual lontong kuah khas itu menjajakan secara keliling dengan pikulan. Ketika menjajakan mereka berbaris dan berjalan keluar dengan cepat seperti orang sedang balapan, adu cepat. Di Surabaya, para pedagang membawanya dengan bersepeda. Kebiasaan ini membuat para pembeli memberi nama masakan itu: lontong balap.Â
Pria dari Dukuh Gubak ini sehabis Subuh membawa dagangannya dengan berjalan kaki sekitar tiga kilometer. Tak jauh dari perempatan tempat mangkalnya ada pasar tiban yang hanya buka di pagi hari. Kini pasar itu disebut Pasar Desa Wage.Â
Menurut cerita Cak Poniman, generasi ketiga dari lontong balap Cak Karim, proses persiapan terlama dalam menyajikan cita rasa khas lontong balap " Pak Kumis Kedung Turi adalah membuat lentho yang  resepnya ada di sini. Jenis kacang yang biasa digunakan dalam membuat lentho adalah kacang tholo atau kacang hijau. Karena ada sebagian kecil yang ditumbuk agak kasar dan sisanya dihaluskan, maka lentho menimbulkan sensasi khusus saat menggigitnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H