Puja puji itu tertata rapi
Dalam alunan sahaja teruntuk sang pujangga dan guru bangsa
Doa-doa yang terucap .. syahdu
Luruh dalam bayang-bayang cahaya
Di atasnya ada cahaya semesta
***
Di atas panggung Mata Air, ada banyak cara mengungkapkan cinta buat sang pujangga dan guru bangsa, Gus Mus. Kiai Haji Achmad Mustofa Bisri, santrinya ada di dunia nyata dan maya. Pada kedua dunia itu, sosok guru bangsa  banyak berhikmat. Mengaji hati dari pikiran sehat. Bahwa Indonesia itu rumah kita yang semestinya senantiasa dijaga dengan jiwa dan raga.Â
Hajinya mabrur dalam syukur dan tafakur. Tak ada takabur, apalagi kufur. Dengan ilmu padinya, semakin berisi kian menundukkan kepala dan melapangkan dada. Gus Mus yang senantiasa mengaku santri kampung adalah alumni Al Azhar. Lirbaya dan Krapyak memang ada di kampung, tapi nama kedua pesantren itu mendunia. Itulah sedikit gambaran kerendahan hatinya di balik tinggi akal budinya .Â
Milad atau memperingati saat bertambah usia secara matematis bisa dimaknai apapun, oleh siapapun, kapanpun, di manapun dan dalam kondisi yang bagaimana pun. Begitu juga dengan cara kelompok penerbitan Suara Merdeka di rumahnya, Semarang, bagi Gus Mus yang dicatat tanggal lahirnya : 10 Agustus 1944. Milad ke 74, diyakini para sahabat sebagai mata air kebudayaan dan rasa hormat kepada beliau. Dan yang bersangkutan juga merespon dengan hanya bersedia menonton tanggapan. Respon merespon gaya seniman, sastrawan dan budayawan tentu menjadi sebuah peristiwa langka dan punya daya tarik sendiri. Â Â
Sumber: Alir mengalir, Mata Air,Â