Menyambung tulisan sebelumnya, setelah dibagi menjadi dua kelompok , susunan Aksara Jawa tadi akan ditemukan pola pertukaran yang beraturan antara huruf ke 1 (ha) dan 11 (pa). Huruf ke 2 dan 12 atau sebaliknya.
Akibat terjadinya pertukaran itu, ada beberapa huruf dan kata yang mengalami asimilasi. Sebagai contoh, kata ajakan ayo digantikan dengan kata mari. Â Proses asimilasi dalam pola komutatif (pertukaran) huruf tadi tidak begitu jelas penyebabnya. Tapi menjadi bukti kreativitas penggagasnya.
Ada beberapa contoh lain yang nampaknya mengharuskan pola pertukaran melalui proses asimilasi. Dugaan penulis karena faktor lokal yakni dialek. Kita tahu bahwa "lidah" masyarakat lokal Jogja (dan Suku Jawa pada umumnya) itu medhog. Kental dengan nuansa dialek lokal dengan tingkatan yang berbeda beda. Tidak berlebihan jika menyebut mereka adalah orang-orang yang cerdas menggali potensi kearifan lokal.
Yang menarik adalah kelompok ketiga (pa, dha, ja, ya, nya) yang berarti mempunyai kekuatan setara atau berimbang (padha gagahe) ini yang menjadi dasar pertukaran dalam menyusun bahasa sandi para preman Jogja itu. Bandingkan dengan kelompok huruf terakhir (ma, ga, ba, tha, nga ) yang artinya tewas semua.
Mungkin agak ironis, bahwa dengan segala aspek negatif yang disandangnya, gali Jogja memang istimewa. Segala aturan hukum bisa ditabrak, tapi kaidah budaya tetap dipertahankan. Diberi makna lebih pada situasi tertentu. Dan diaplikasikan dalam kondisi yang sangat spesial. Dayi dab, payu poya lesgi ( ayo mas, aku ora ngerti / Mari mas, aku tidak tahu).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H