Mohon tunggu...
dabPigol
dabPigol Mohon Tunggu... Wiraswasta - Nama Panggilan

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Preman Cerdas dan Berbudaya

19 September 2018   13:57 Diperbarui: 19 September 2018   14:19 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi pribadi untuk Hanito Bimbel Kebumen

Menyambung tulisan sebelumnya, setelah dibagi menjadi dua kelompok , susunan Aksara Jawa tadi akan ditemukan pola pertukaran yang beraturan antara huruf ke 1 (ha) dan 11 (pa). Huruf ke 2 dan 12 atau sebaliknya.

Akibat terjadinya pertukaran itu, ada beberapa huruf dan kata yang mengalami asimilasi. Sebagai contoh, kata ajakan ayo digantikan dengan kata mari.  Proses asimilasi dalam pola komutatif (pertukaran) huruf tadi tidak begitu jelas penyebabnya. Tapi menjadi bukti kreativitas penggagasnya.

Ada beberapa contoh lain yang nampaknya mengharuskan pola pertukaran melalui proses asimilasi. Dugaan penulis karena faktor lokal yakni dialek. Kita tahu bahwa "lidah" masyarakat lokal Jogja (dan Suku Jawa pada umumnya) itu medhog. Kental dengan nuansa dialek lokal dengan tingkatan yang berbeda beda. Tidak berlebihan jika menyebut mereka adalah orang-orang yang cerdas menggali potensi kearifan lokal.

Koleksi pribadi untuk Hanito Bimbel Kebumen
Koleksi pribadi untuk Hanito Bimbel Kebumen
Dari gambar di atas, diperlukan kecermatan yang bukan hanya menuntut konsentrasi. Tapi harus dilandasi kecerdasan intelektual yang mumpuni. Membuat pola pertukaran yang teratur saja tidak mudah. Mereka harus mempertimbangkan bahwa setiap kelompok huruf mengandung makna. 

Coretan sendiri
Coretan sendiri
Misalnya kelompok pertama, dari huruf ke 1 sampai 5 (ha, na, ca, ra , ka) yang bermakna ada utusan. Para utusan (dua pengawal setia Ajisaka). Mereka berkelahi karena memegang prinsip masing-masing (da, ta, sa, wa, la ).

Yang menarik adalah kelompok ketiga (pa, dha, ja, ya, nya) yang berarti mempunyai kekuatan setara atau berimbang (padha gagahe) ini yang menjadi dasar pertukaran dalam menyusun bahasa sandi para preman Jogja itu. Bandingkan dengan kelompok huruf terakhir (ma, ga, ba, tha, nga ) yang artinya tewas semua.

Mungkin agak ironis, bahwa dengan segala aspek negatif yang disandangnya, gali  Jogja memang istimewa. Segala aturan hukum bisa ditabrak, tapi kaidah budaya tetap dipertahankan. Diberi makna lebih pada situasi tertentu. Dan diaplikasikan dalam kondisi yang sangat spesial. Dayi dab, payu poya lesgi ( ayo mas, aku ora ngerti / Mari mas, aku tidak tahu).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun