Menteri Bahlil Hapus Konsultan Minerba, Ada Apa ?
 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia meminta Tri Winarno, yang baru saja dilantik menjadi Direktur Jenderal Mineral dan Batubara atau Dirjen Minerba, untuk meniadakan alias menghapus seluruh konsultan di direktoratnya.
Menurut Menteri Bahlil, konsultan tersebut menjadi akar permasalahan terkait perkara-perkara hukum di Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. Sektor pertambangan di Indonesia telah menjadi salah satu sektor unggulan dengan potensi ekonomi yang cukup besar. Namun perkembangannya diiringi dengan kompleksitas hukum dan regulasi yang melingkupinya, terutama sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Hal diatas mengundang konsultan hukum khususnya bidang hukum pertambangan.Untuk mengatasi persoalan-persoalan klien di sektor pertambangan diperlukan pemahaman yang mendalam baik secara teori maupun praktik di lapangan. Kurangnya pemahaman hukum terkait pertambangan dapat menjadi hambatan dalam memberikan layanan hukum yang komprehensif dan tepat sasaran bagi klien di sektor pertambangan.
Selama ini konsultan hukum pertambangan lebih banyak berkutat masalah pengusahaan pertambangan, perizinan dan pembinaan pertambangan, kajian lingkungan dalam wilayah pertambangan, legal due diligence serta teknik dalam upaya hukum litigasi dan nonlitigasi.
Kegalauan dan keraguan pemerintah menyebabkan kondisi ketidakpastian bagi investor yang telah dan akan menanamkan modalnya untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter. Pemerintah mendatang yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto hendaknya tidak mengkhianati kepentingan generasi yang akan datang. Sebaiknya pemerintah tidak obral murah IUPK. Ketentuan untuk IUPK harus ditambah dengan transparansi usaha pertambangan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) serta pengembangan teknologi dan proses inovasi.
Hilirisasi pertambangan minerba perlu mencontoh negara-negara yang mengandalkan sumber daya alam, seperti United Arab Emirates (UAE) dan Australia, dalam melakukan rencana strategis jangka panjang yang selalu mengutamakan manfaat keseluruhan terhadap ekonomi domestik. Eksploitasi sumber daya alam harus diikuti dengan pembangunan rantai nilai yang lain, seperti smelter dan sektor hilir atau penunjang lainnya, sehingga dapat memaksimalkan manfaat ekonomi secara jangka panjang. Mereka sadar bahwa sumber daya alam tersebut tidak bisa selamanya memberikan manfaat ekonomi.
Pembangunan dan pengembangan smelter di Indonesia mengalami berbagai kendala teknis dan non-teknis. Namun begitu pemerintah dituntut memiliki akal panjang agar pembangunan berbagai jenis smelter bisa bertambah lagi secara signifikan. Mengingat aneka macam mineral di negeri ini masih belum didayagunakan.
Salah satu masalah yang cukup rumit adalah pembangunan smelter bijih besi. Hingga kini daya serap perusahaan nasional terhadap produk bijih besi (iron ore) masih kecil, sehingga produsen cenderung mengekspor.
Perusahaan nasional penyerap bijih besi terbesar adalah PT Meratus Jaya Iron and Steel, perusahaan patungan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) dengan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Meratus Jaya merupakan pabrik pengolahan bijih besi menjadi besi setengah jadi (sponge iron) berkapasitas produksi hingga 400 ribu ton per tahun.