Hari Tani Nasional Didera Masalah Penguasaan TanahÂ
Hari Tani Nasional (HTN) diperingati setiap 24 September. Peringatan selalu mengingatkan kita bahwa masalah reforma agraria masih jauh dari cita-cita para pendiri bangsa. Bahkan penguasaan tanah, khususnya oleh pihak asing menimbulkan kecemburuan sosial yang amat berbahaya.Â
Masalah penguasaan tanah menjadi silang sengketa yang tidak pernah selesai. Apalagi penguasaan tanah itu oleh perusahaan asing, bisa menimbulkan sengketa abadi sepanjang republik ini berdiri.
Tantangan pemerintahan mendatang adalah pendistribusian aset terhadap petani melalui distribusi hak atas tanah petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani.
Pemerintah wajib memahami latar belakang Tanggal 24 September diperingati sebagai HTN adalah kebijakan Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 169 Tahun 1963, yang menetapkan kelahiran UUPA 1960. Saat ini perlu menumbuhkan nilai dan esensi UUPA 1960 yang menjadi latar belakang HTN.
Peringatan HTN 2024 masih diwarnai kesedihan terkait dengan masih banyaknya konflik agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan data 2.710 konflik agraria terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Sejak 2015 hingga 2022, ribuan kasus persoalan agraria itu mencuat dan berdampak pada 5,8 juta hektar tanah.
Dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2022 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memberikan konsesi terluas dari semua periode pemerintahan di Indonesia yakni 23,9 juta hektar. Presiden Joko Widodo selama 8 tahun berkuasa telah memberikan penguasaan lahan konsesi seluas 11,7 juta hektar.
Di era Jokowi paling banyak memberikan konsesi tambang dan memang pemerintahan ini paling banyak memberikan izin tambang dibandingkan masa pemerintahan sebelumnya.
Presiden Soekarno menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan UUPA 1960.
Cita-cita yang melandasi ditetapkannya UUPA adalah untuk menciptakan pemerataan struktur penguasaan tanah demi mengangkat martabat dan kesejahteraan kaum tani.
Program landreform atau pembaruan agraria yang menjadi substansi utama dalam UUPA 1960, oleh Bung Karno disebut sebagai satu bagian mutlak dari jalannya revolusi Indonesia.
Selain mewujudkan pembaruan agraria yang berdasarkan semangat UUPA 1960, pemerintah juga berkewajiban menyediakan infrastruktur yang baik untuk bertani, seperti prasarana irigasi, mekanisasi, bibit, dan pupuk.
Kebijakan pemerataan tanah untuk petani yang paling tepat lewat program transmigrasi. Untuk suksesnya reformasi agraria perlu langkah legalisasi aset tanah transmigran yang belum bersertifikat.
Pemerintahan baru dibawah Presiden Prabowo Subianto perlu merealisasikan program kawasan baru transmigrasi yang lebih luas lagi dan setidaknya mampu menyerap 7 juta kepala keluarga (KK) dengan berbagai model penempatan dan berbagai pola usaha pertanian.
Pemerintahan mendatang harus mampu mencerahkan persepsi rakyat tentang transmigrasi dan membangun Indonesia dari pinggiran.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi harus mampu merumuskan strategi baru transmigrasi. Sehingga program tersebut bisa menemukan kembali arti pentingnya untuk kemajuan bangsa.
Penyelenggaraan Transmigrasi hendaknya tidak hanya memindahkan masyarakat miskin. Kebijakan penyelenggaraan transmigrasi harus mendukung program reformasi agraria dan percepatan pembangunan wilayah perbatasan.
Program transmigrasi ke depan mesti menjadi garda terdepan dalam mewujudkan desa-desa mandiri dengan melakukan pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi.
Di dalam konstitusi Indonesia sebagaimana Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Makna bumi menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan permukaan bumi. Pengertian tanah disini bukan berarti mengatur tanah di dalam seluruh aspeknya, melainkan dari sisi yuridis yang disebut juga dengan Hak.
Tanah sebagai bagian dari bumi sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu berdasar atas hak menguasai dari Negara ditentukan dengan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah; yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
Sering kali dijumpai Warga Negara Indonesia (WNI) yang mengabaikan atau bahkan menelantarkan tanahnya karena tidak paham dengan hukum mengenai pertanahan dan konsekuensi apa yang terjadi apabila tanah tersebut jatuh kepada pihak yang salah. Padahal pada zaman sekarang tanah menjadi faktor produksi bahkan komoditas penting yang sangat sering dicari oleh manusia.
Dengan bertambahnya atau meningkatnya jumlah penduduk yang begitu cepat, pada akhirnya menimbulkan tingginya permintaan akan tanah, apakah itu untuk keperluan tempat tinggal atau berteduh hingga digunakan sebagai tempat usaha.
Tanah juga memiliki sebuah peran penting sebagai tanda kekuasaan seseorang atau kedudukan seseorang, hingga pada akhirnya tanah banyak diperebutkan demi mendapatkan gelar kekuasaan maupun kekayaan.
Ada beberapa penyebab mengapa begitu banyak warga negara asing (WNA) di Indonesia yang menguasai tanah dalam jumlah yang sangat luas. Pemerintah selama ini memberikan akses kemudahan bagi WNA.
Hak atas tanah adalah suatu hak untuk menguasai tanah oleh negara yang diberikan kepada seseorang, sekelompok orang, maupun kepada badan hukum baik WNI maupun WNA.
Pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari tanah yang dimiliki. Negara berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan/atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut sebagai UUPA) yang menyatakan bahwa: "Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum
Berdasarkan ketentuan tersebut, hak atas tanah memberikan hak kepemilikan atas tanah oleh negara kepada orang-perorangan atau badan hukum dengan bentuk tanah hak milik, hak guna usaha (selanjutnya disebut HGU), hak guna bangunan (selanjutnya disebut HGB), hak pakai, hak sewa, hak untuk untuk membuka tanah, hak memungut hasil, serta beberapa hak yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H