Dana Bagi Hasil Migas untuk Daerah, Apakah Sudah Adil dan Transparan ?
Perhitungan dan penggunaan dana bagi hasil minyak dan gas dinilai belum transparan dan belum sepenuhnya tepat sasaran. Masih kurang memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat di daerah.
Masih terjadi perdebatan mengenai DBH Migas. Esensi perdebatan tersebut diantaranya terkait persentase DBH Migas yang diberikan ke daerah. Beberapa pihak menilai bahwa persentase DBH Migas yang diberikan kepada daerah terlalu rendah dan tidak sebanding dengan jumlah keuntungan yang diperoleh dari penjualan minyak bumi dan gas di daerah tersebut.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak dan Gas (Migas) yang ditransfer pemerintah pusat ke daerah senilai Rp 20,51 triliun pada 2023.Rincinya, sebanyak Rp 5,16 triliun ditransfer ke 20 pemerintah provinsi dan Rp 14,72 triliun ditransfer ke 337 pemerintah kabupaten/kota. Sebanyak 5 pemerintah provinsi di Sumatera masuk dalam daftar penerima DBH Migas terbesar pada 2023, sementara 2 provinsi lainnya ada di Jawa, 1 di Papua, 1 di Sulawesi dan 1 di Kalimantan.
DBH Migas di Indonesia diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi.
DBH Migas diberikan kepada daerah setempat untuk membantu pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Persentase dana bagi hasil yang diberikan kepada daerah setempat ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu sebesar 10 persen untuk daerah yang merupakan wilayah operasi produksi minyak bumi dan gas, dan sebesar 5 persen untuk daerah yang bukan merupakan wilayah operasi produksi minyak bumi dan gas.
Usaha hulu migas perlu memperhatikan prinsip keadilan dan transparansi terhadap pemerintah daerah yang menurut ketentuan berperan serta dengan penyertaan modal usaha atau disebut Participating Interest (PI) Blok Migas. Sesuai dengan Surat Menteri ESDM perihal keikutsertaan BUMD dalam pengelolaan Blok Migas.
Perlu mewujudkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bersih dan kredibel. Serta menguasai seluk beluk bisnis migas untuk melakukan ketentuan 10 persen participating interest. Diharapkan modal pemda yang disetorkan benar-benar mendatangkan keuntungan yang optimal dan bermanfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat daerah. Meskipun dalam prakteknya dana penyertaan modal tersebut dipinjam dari PT Pertamina, namun jangan sampai penyertaan modal tersebut mengalami masalah disana-sini karena manajemen kurang profesional dan pengelola hanya kerja sambilan.
Sebagai contoh, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) yang menggarap Blok Migas Offshore North West Java (ONWJ) yang anjungannya tersebar di lepas pantai utara Provinsi Jawa Barat. Selama ini telah melakukan skema bagi hasil yang berlaku pada saat ini. Skema itu diartikan sebagai cara bagi hasil antara operator dengan pemerintah yang dilakukan di level revenue. Bukan setelah adanya biaya seperti halnya kontrak kerjasama yang sudah ada. Skema ini tidak ada lagi faktor cost recovery yang sebelumnya berlaku.