Jendela Profesionalisme, Kenapa Rusak ?
Memaknai Hari Kemerdekaan RI ke-79 mestinya tidak perlu dengan jargon atau slogan yang bombastis. Rakyat cuma butuh jawaban dari sebuah pertanyaan yang sederhana. Mengapa jendela profesionalisme di negeri ini rusak ?
Rakyat sering mendengar bahwa banyak pihak mengaku berkualifikasi profesional. Politisi profesional, ASN profesional, polisi profesional, hakim profesional, dan sederet lagi yang harus mengaku profesional, tetapi daya saing dan pranata kebangsaan Indonesia tetap saja semrawut dan compang-camping. Karena masih banyak yang hanya di bibir, belum terpatri ke dalam pola sikap dan tingkah laku.
Label profesionalisme di tanah air menyiratkan sebuah ironisme perikehidupan. Stigma profesional yang ada selama ini kebanyakan esensinya bersifat kulit-kulitnya saja, bukan kuning telurnya. Padahal kita sudah lama mencanangkan gerakan reformasi. Bertransformasi dari suatu era, di mana pada masa orde-baru kita dipimpin oleh suatu semangat yang serba conformity yakni serba diarahkan dan seragam, Lalu reformasi membawa kita ke dalam suatu era dimana kebebasan menjadi paradigma dan dasar baru dari segenap pola tingkah laku.
Lima tahun terakhir ini rezim penguasa suka kembali dengan conformity. Bahkan pemilu saja tidak lepas dari cawe-cawe presiden, partai politik serba diarahkan, Mahkamah Konstitusi diarahkan, bansos diarahkan untuk kemenangan pemilu pihak tertentu. Pendek kata, conformity kini semakin merajalela.
Conformity telah merasuk ke dalam segala pranata sosial. Dari lapangan politik, ekonomi, pendidikan hingga lapangan kerja, semuanya terkontaminasi. Bahkan media massa mainstream, baik koran maupun televisi, semua sudah berbau conformity, serba diarahkan, redaksi diarahkan oleh partai politik. Media mainstream sudah menjadi alat pemengaruh yang diarahkan oleh koalisi kekuasaan. Akhirnya rakyat tidak sudi membaca koran, malas nonton tv, kecuali acara khusus. Media mainstream banyak yang tutup. Kalau ada yang masih terbit bisa dipastikan jumlah pembacanya kian menyusut.
Kini masyarakat sering disuguhi oleh elite politik dan birokrasi dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan sifat profesionalisme. Esensi profesionalisme di Indonesia sejatinya masih terpasung, sehingga stigma yang ada selama ini hanya "seolah-olah" atau pseudo-profesionalisme.
Jagat profesionalisme dalam kondisi jungkir balik. Lapangan kerja kasar atau yang mengandalkan otot kini direbut oleh pencari kerja yang berkualifikasi sarjana. Tukang ojek online saja banyak digeluti oleh lulusan perguruan tinggi. Bidang lapangan kerja, profesionalisme banyak yang ambruk, karena industri padat karya yang selama ini dimanjakan oleh penguasa ternyata hanya menyerap tenaga kerja kasar alias otot.
Budaya Profesionalisme
Dari sisi kacamata ilmu sosiologi, kebudayaan, khususnya budaya profesionalisme, dapat direkayasa (dibentuk) di tengah pranata sosial masyarakatnya. Rekayasa tersebut tidak harus melalui penataran-penataran yang selama ini dilakukan. Rekayasa tersebut akan lebih efektif melalui keteladanan dan pendekatan sistem dalam kehidupan bermasyarakat kita. Apalagi kalau hal ini dimulai dari para pimpinan nasional dan pemimpin daerah.
Sebetulnya, saat ini adalah momentum yang tepat untuk merekayasa budaya profesionalisme. Karena keterlambatan untuk merekayasa akan berakibat fatal dan memilukan. Saatnya untuk disadari bahwa dunia internasional tidak pernah berpikir untuk menunggu kita menyelesaikan dahulu persoalan-persoalan demokrasi kita di dalam menghadapi persaingan global yang dewasa ini tengah mendesak setiap bangsa di dunia.
Jika kita meneropong ke negara lain, utamanya negara-negara maju, akan terlihat stigma dan sepak terjang masyarakat di negara maju. Bagaimana cara mereka mengartikulasikan terhadap profesinya. Bagaimana seorang ahli penata bunga, atau seorang tukang kayu di benua Amerika atau Eropa dengan bangga menempelkan di dinding sertifikat mereka sebagai seorang tukang kayu atau perangkai bunga yang certified, yang mencapai standardisasi internasional. Lebih dari itu mereka gemar menjadi anggota komunitas sebuah profesi yang setiap saat dapat menjadi wahana untuk meningkatkan profesionalitas mereka.
Tergambar dalam benak kita melalui film-film ringan Amerika, bagaimana film ini mengelaborasi perjuangan seorang anak muda di dalam memperjuangkan cita-citanya, menjadi seorang pemain American Football. Juga sering kita lihat up and down (perjuangan jatuh bangunnya) seorang musisi yang profesional, atau seorang penari balet yang terkenal.
Akhirnya dapat kita tarik sebuah kesimpulan, betapa kayanya masyarakat mereka akan ragam profesi yang ingin mereka capai. Berbanding terbalik dengan kondisi di tanah air kita, yang dari tahun ke tahun selalu dan selalu ingin menggapai profesi yang itu-itu saja. Yang berbau birokrasi, feodal, dan cuma mentereng di status belaka.
Dalam psikologi sosial, kebanggaan akan profesi yang dipilihnya seperti dalam contoh kasus di atas dikenal sebagai positivity. Seseorang dikatakan memiliki positivity tinggi apabila di dalam ia melaksanakan tugas-tugas profesinya tampak dengan nyata betapa ia memiliki kepercayaan diri atas profesi yang dijalankan, sehingga tidak merasa rendah diri di dalam menghadapi atasan, dan lingkungan sosialnya.
Yang harus digarisbawahi dan menjadi titik perhatian masyarakat Indonesia sebetulnya adalah suatu isu tentang rasa kebanggaan profesi. Bagaimana cara membangun positivity yang kuat bagi tiap profesi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Yakni profesi dalam arti yang luas, tidak harus kita bayangkan seorang dokter, insinyur, atau seorang pengacara untuk bisa dikatakan memiliki profesi, ataupun untuk bisa disebut profesional.
Profesi apapun bentuknya bila ditekuni secara konsisten dan bersungguh-sungguh akan mendatangkan reward (imbalan) yang memuaskan. Selain itu sebuah profesi sebaiknya mendapatkan apresiasi jika ingin berkembang dan sustainable (berkelanjutan). Dari pengamatan kita sehari-hari, dapat kita lihat bagaimana masyarakat kita kurang dapat memberikan dan menggali apresiasi pada profesi yang berkembang.