Cita-cita Kemerdekaan Bikin Nuklir, Jangan Dijegal !
Memasuki bulan Agustus di benak rakyat Indonesia berseliweran cita-cita dan janji kemerdekaan. Merdeka atau mati itu adalah makna terdalam dari kedaulatan. Tentunya kedaulatan berbagai aspek kehidupan. Yang sangat relevan saat ini adalah kedaulatan energi untuk bangsa.Â
Cita-cita Indonesia Merdeka, salah satunya adalah menguasai teknologi nuklir serta pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Tidak lama setelah Indonesia Merdeka, Presiden Soekarno langsung mengirimkan sejumlah WNI untuk belajar teknologi nuklir ke sejumlah negara yang unggul di bidang teknik nuklir. Terutama belajar ke Rusia. Selain itu Bung Karno juga telah membangun fasilitas nuklir seperti reaktor di Jogjakarta dan Bandung.
Mestinya pada saat ini Indonesia sudah memiliki reaktor nuklir dan beberapa PLTN, namun cita-cita kemerdekaan ini sepertinya kandas karena ada yang "menjegal". Sangat ironis jika kebijakan tentang kedaulatan energi untuk bangsa dengan menggunakan teknologi nuklir dihalang-halangi oleh "invisible hand". Digertak oleh kacung pihak asing agar Indonesia tidak membangun PLTN. Dan akhirnya terjadilah brain drain dari para ahli nuklir Indonesia. Kondisinya semakin parah karena para ilmuwan nuklir usianya semakin tua dan sudah banyak yang pensiun. Pemerintahan era orde baru, orde reformasi dan pemerintahan saat ini sangat kurang perhatian tentang teknologi nuklir. Bahkan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), dihapus alias dilebur ke dalam BRIN.
Padahal Indonesia dinilai mampu untuk membangun PLTN berskala sedang/kecil. Sampai saat ini, pemerintah dan DPR seperti undur-undur yang berputar-putar dalam lingkaran kecil terkait penyusunan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan atau UU EBET.
Sekedar catatan, Asosiasi Nuklir Dunia (WNA) menyebut, PLTN memasok listrik global sedikitnya 2.653 terawatt hour (TWh) pada tahun 2021 atau setara 10 persen dari total pasokan listrik dunia sebesar 26.833 TWh. Dengan jumlah ini, nuklir berada di posisi keempat sebagai energi yang memasok listrik dunia setelah batubara, gas, dan air.
Indonesia sudah mampu mendesain dan membangun PLTN meski skalanya kecil. Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) juga sudah mengakuinya. Meski berskala kecil, PLTN itu dapat ditingkatkan dari yang semula 10 megawatt (MW) bisa menjadi 300 MW, dan 600 MW.
Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-79 merupakan momentum untuk mewujudkan kedaulatan energi nasional. Kedaulatan energi kini menjadi persoalan seluruh bangsa di dunia.
Indonesia saat ini juga tengah dihimpit oleh persoalan subsidi energi yang kian membengkak dan kurang tepat sasaran. Kondisi Indonesia kian parah karena minimnya kegiatan riset dan inovasi untuk lepas dari jerat impor energi.
Konsumsi energi di Indonesia masih didominasi oleh energi fosil (minyak bumi,gas bumi, dan batubara) sedangkan energy baru dan terbarukan (EBT) masih bersifat alternatif dan programnya masih setengah hati. Ketergantungan terhadap energi fosil menimbulkan Kenaikan/ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi. Minyak mentah merupakan jenis energi yang dominan di impor dengan pertumbuhan rata-rata 4.3 % per tahun seiring berjalannya program RDMP (Refinery Development Master Plan) dan GRR (Grass Root Refinery).