Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kebijakan Satu Peta Mampukah Redam Konflik Agraria?

5 Juli 2024   17:38 Diperbarui: 5 Juli 2024   17:38 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unjuk rasa menuntut agar kriminalisasi terhadap warga yang menjual hasil panen kebun mereka dihentikan.(Sumber :KOMPAS/YOLA SASTRA)

Kebijakan Satu Peta Mampukah Redam Konflik Agraria ?

Bagi warga negara yang terlibat konflik agraria, itu merupakan petaka sepanjang masa dan penderitaan turun temurun. Apalagi posisi warga semakin terjepit akibat investor sebagai panglima pembangunan. Presiden Jokowi tidak lama lagi lengser, meninggalkan warisan konflik agraria yang jumlahnya lebih besar dari presiden sebelumnya.

Eksistensi Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mempengaruhi kandungan informasi geospasial pada peta dasar (RBI) yang tertuang dalam UU 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Pada UU Cipta Kerja disebutkan bahwa bank tanah merupakan badan khusus yang mengelola tanah. Badan bank tanah berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.

Konflik agraria berlarut-larut hingga diwariskan dari rezim ke rezim. Konflik diwariskan turun-temurun oleh pemerintah. Jumlah konflik terus terakumulasi dan sewaktu-waktu bisa terjadi ledakan konflik agraria multidimensi.

Salah satu konflik yang turun temurun adalah konflik agraria di Desa Batulawang, Cianjur, Jawa Barat. Yang menjadi warisan sejak Orde Baru. Konflik ini melibatkan warga dan tanah hak guna usaha (HGU) sebuah perusahaan. Karena konflik tidak kunjung usai tiba-tiba lahan bekas HGU itu diklaim sebagai milik bank tanah setelah lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja.

Peristiwa di Batulawang merupakan salah satu contoh perubahan bentuk konflik agraria yang kian kompleks. Dari awalnya hanya melibatkan warga dan tanah eks HGU, kini ada bank tanah, bahkan salah satu bagian institusi kepolisian. Timbulnya konflik agraria yang baru salah satunya dipicu oleh proyek strategis nasional (PSN). Sepanjang waktu 2020-2023 saja, terjadi 115 letusan konflik agraria akibat PSN. Berdampak terhadap 85.555 keluarga.

Pada era Presiden SBY (2005-2014), jumlah konflik agraria sebanyak 1.520 kasus. Jumlah masyarakat terdampak sebanyak 977.103 KK. Dan luas konflik agraria meliputi 5.711.396 hektare. Sedangkan pada Presiden Jokowi (2015-2023),jumlah konflik agraria yang terjadi sebanyak 2.939 kasus. Jumlah masyarakat yang terdampak sebanyak 1.759.308 KK. Dan luas konflik agraria meliputi 6.309.261 hektare

Meskipun Kebijakan Satu Peta (KSP) sudah diluncurkan sejak tahun 2018, sengketa lahan semakin banyak. Sayangnya KSP lebih menguntungkan pengusaha ketimbang rakyat. Selama ini, isu tumpang tindih lahan atau ketidaksesuaian pemanfaatan ruang kerap terjadi akibat informasi seputar tata ruang yang tidak jelas dan tidak terintegrasi. Dari pusat ke daerah, setiap kementerian dan lembaga mempunyai versi pendataan geospasialnya sendiri-sendiri.

Komnas HAM menyimpulkan adanya eskalasi masif konflik agraria di berbagai lokasi di Indonesia. Rata-rata ada empat kasus per hari yang dilaporkan ke Komnas HAM. Empat teratas hak asasi yang paling banyak diduga dilanggar, yaitu hak atas kesejahteraan, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, dan hak untuk hidup. Konflik agraria yang diadukan ke Komnas HAM mayoritas terkait dengan kebijakan dan keputusan pemerintah baik dalam skala nasional maupun sektoral, termasuk daerah, yang pada akhirnya masih belum menghadirkan keadilan bagi masyarakat.

Selain kebijakan, faktor absennya koordinasi yang efektif efektif lintas kementerian dan tingginya ego sektoral juga menjadi sebab berlarut-larutnya penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam. Data yang berbeda-beda itu membuka celah untuk praktik mafia tanah dalam proses perizinan usaha, seperti pungutan liar dan penerbitan izin penggunaan lahan yang tidak sesuai fungsi dan peruntukan. Akibatnya, konflik dengan masyarakat setempat tidak terhindarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun