Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Lahar Dingin Marapi Menerjang, Padahal PVMBG Sudah Peringatkan

12 Mei 2024   23:50 Diperbarui: 13 Mei 2024   08:00 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pembangunan Sabo Dam (Dok. PUPR via KOMPAS.com) 

Lahar Dingin Marapi Menerjang, Padahal PVMBG Sudah Peringatkan

Bencana bertubi tubi menimpa negeri tercinta. Banjir lahar dingin yang terjadi di Bukik Batabuah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada hari Sabtu malam ( 11/05/2024) telah menelan banyak korban jiwa dan harta benda. Pemerintah daerah kurang responsif terhadap peringatan bahaya lahar dingin yang jauh hari sebelum terjadinya bencana sudah diperingatkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Sudah sedemikian rapuhnya sistem mitigasi di daerah. Seharusnya bencana lahar dingin yang menyebabkan pergerakan batu-batu besar dan material lainnya dari permukaan yang lebih tinggi meluncur atau menggelinding ke bawah bisa dilokalisir agar tidak menerjang rumah penduduk dan infrastruktur publik. Mestinya ada sistem mitigasi untuk beberapa kontur tanah yang dipasang jaring baja untuk menghentikan luncuran batuan. 

Akibat lahar dingin dari puncak gunung terjadi tumbukan bebatuan berbagai ukuran, dari yang kecil hingga batu sebesar kerbau. Semua meluncur ke bawah dengan tenaga tumbukan yang sangat besar.

Ada metode Teknik Sipil yang bisa mengatasi pergerakan material lahar dingin termasuk bebatuan besar. Teknologi tersebut adalah konstruksi teknik sipil yang disebut Sabo Dam.

Jika proses pembangunan Sabo Dam perlu waktu panjang maka untuk kondisi sementara, bisa memakai teknologi jaring baja yang bisa dipasang dalam waktu yang relatif lebih cepat.

Mekanisme terjadinya lahar dingin apabila hujan di area puncak maupun lereng Gunung Api. Meskipun erupsi atau letusan gunung api berhenti sementara, namun endapan material vulkanik seperti abu, pasir, dan bebatuan, masih terdapat di puncak maupun lereng gunung.

Endapan material vulkanik tersebut merupakan hasil erupsi Gunung Marapi sejak letusan utama yang terjadi pada 3 Desember 2023. Pada medio Januari 2024 PVMBG memperkirakan terdapat 500 ribu meter kubik material vulkanik yang menumpuk di sekitar kawah gunung api itu.

Material tersebut bisa meluncur deras ke bawah jika di puncak gunung terjadi hujan dengan intensitas yang cukup tinggi. Maka endapan material vulkanik tadi dapat meluas ke sungai-sungai, terutama yang berhulu dari Gunung Marapi.

Material seperti abu vulkanik dan piroklastik yang belum terkonsolidasi atau belum padat jika bercampur dengan air akan menghasilkan debris flow, yakni aliran massa dengan energi tumbukan yang luar biasa.

Selama ini masyarakat hanya waspada terhadap bahaya primer dari letusan gunung berapi seperti lava dan juga awan panas. Namun, saat erupsinya selesai, kita menganggap bahwa kondisinya sudah aman. Padahal bahaya-bahaya sekunder masih mengintai dan membuat kita lengah.

Indonesia terdapat banyak gunung berapi. Sayangnya terdapat kesalahan yang fatal yakni masih kurangnya bangunan Sabo dam dan konstruksi jaring baja yang dipasang di aliran sungai atau tempat-tempat yang diperkirakan menjadi lintasan utama debris yang berupa material lumpur, pasir, kerikil, sampah hingga batu-batu besar.

Jaring baja fleksibel penahan debris lahar dingin ( sumber : Maccaferri.com )
Jaring baja fleksibel penahan debris lahar dingin ( sumber : Maccaferri.com )

Sabo Dam dan jaring baja fleksibel berfungsi menahan debris dalam area khusus sehingga tidak terus menggelinding menerjang pemukiman dan bangunan utilitas.

Niat dan kemampuan pemerintah pusat dan daerah untuk membangun Sabo Dan masih sangat rendah. Istilah Sabo berasal dari bahasa Jepang, "sa" yang berarti pasir dan "bo" yang berarti pengendalian.

Teknologi sabo ini pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada 1970 sejak kedatangan seorang tenaga ahli di bidang teknik sabo dari Jepang, Mr. Tomoaki Yokota. Saat itu teknologi sabo menjadi salah satu alternatif terbaik untuk menanggulangi bencana alam akibat erosi, aliran sedimen dan proses sedimentasi di Indonesia.

Mitigasi banjir bandang dengan cara membangun Sabo Dan perlu disesuaikan dengan karakter sungai dan kontur tanah. Selama ini pembangunan Sabo Dam yang merupakan bangunan sipil basah tersebut sangat repot dan terhalang dengan masalah non teknis karena letak proyek kebanyakan posisinya di pelosok yang sulit terjangkau angkutan.

Selain itu proyek Sabo Dam membutuhkan durasi yang cukup lama. Selain itu mutu dan kekuatan konstruksi belum sempurna, sehingga pada saat terjadi banjir bandang Sabo Dam tidak kuat menahan hantaman debris.

Untuk mengatasi hal itu kini ada teknologi atau sistem Sabo Dam modular. Dimana modul-modul beton penyusunnya diproduksi di pabrik beton sehingga memiliki kekuatan yang lebih bagus. Modul-modul tersebut tinggal diangkut dan disusun di lokasi DAS sudah terpilih.

Jika DAS letaknya benar-benar tidak memungkinkan dibangun Sabo Dam, sebagai alternatif bisa dibangun jaring baja yang fleksibel. Kawasan yang kondisi tutupan lahan dan hutan telah rusak berat perlu melakukan usaha mitigasi dengan jaring baja tersebut atau istilah tekniknya konstruksi flexible ring net di beberapa titik.

Konstruksi tersebut terdiri dari serangkaian gelang baja yang berdiameter antara 20 hingga 30 cm yang digabung menjadi sebuah jaring. Rangkaian gelang tersebut tersebut akan membentuk suatu jaring yang fleksibel dan akan sanggup menahan material sedang hingga besar yang terbawa aliran banjir bandang.

Konstruksi flexible ring net perlu dipasang secara bertingkat di sepanjang aliran sungai dan celah-celah yang menjadi dugaan aliran banjir bandang. 

Pemasangan konstruksi flexible ring net memerlukan analisa gaya impact dan pemilihan konstruksinya. Untuk masalah tempat pemasangan yang tepat membutuhkan data spasial dan aspek geologi.

Bangunan sabo pada umumnya dibangun di daerah yang sangat rentan terhadap bahaya aliran debris yang memiliki gaya bentur (impact force) yang sangat besar. Sehingga bangunan sabo harus direncanakan dan di desain untuk mampu menahan gaya bentur tersebut.

Salah satu penyebab kerusakan yang sering terjadi pada bangunan sabo, khususnya Sabo Dam tipe tertutup ( non modular ) dari bahan beton konvensional adalah kerusakan akibat gaya bentur.

Oleh sebab itu lebih tepat diterapkan sistem modular dengan kualitas beton yang kekuatannya mencapai K600. Kualitas beton mutu tinggi tersebut diproduksi oleh perusahaan pracetak .

Selain lebih tahan terhadap gaya bentur/impak. Waktu pelaksanaan pembangunan Sabo Dam modular relatif lebih cepat karena modul dikerjakan secara masal di pabrik.

Perencanaan Sabo Dam dilakukan dengan menganalisis data hidrologi berupa curah hujan yang menghasilkan curah hujan rencana periode ulang 50 tahun. Curah hujan rencana tersebut digunakan untuk mendapatkan besar debit banjir rencana periode ulang 50 tahun.

Dalam perhitungan debit banjir rencana digunakan dua kondisi yaitu kondisi banjir tanpa sedimen dan kondisi banjir dengan sedimen. Debit banjir dengan sedimen diperoleh dari debit banjir dikalikan dengan konsentrasi sedimen.

Kementerian PUPR selama ini telah banyak membangun Sabo dam untuk mitigasi lahar gunung berapi. Lahar dingin yang menghanyutkan bebatuan dengan volume yang besar bisa diatasi.

Pola pengendalian aliran lahar dengan Sabo Dam memiliki perbedaan fungsi pada daerah yang berbeda-beda. Kawasan gunung berapi berdasarkan pengendalian lahar dibedakan menjadi empat macam, yaitu daerah pengendapan lahar,daerah transportasi lahar,daerah sumber material lahar dan daerah puncak gunung.

Kementerian PUPR khususnya Balai Sabo perlu bersinergi dengan dengan pemerintah daerah dan perguruan tinggi terkait dengan kegiatan penelitian dan pengembangan sabo yang bisa mereduksi risiko bencana.

Tak hanya terbatas untuk pengendalian sedimentasi vulkanik, perlu juga juga penelitian dan solusi konkrit untuk mengatasi sedimentasi di daerah non-vulkanik seperti permasalahan erosi dan tanah longsor. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun