Solidaritas Asia Afrika, Stop Singa Makan Rumput
Peringatan ke-69 Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Kota Bandung memiliki nilai sejarah yang amat relevan pada saat ini. Konferensi yang diselenggarakan pada 18-24 April 1955 melahirkan solidaritas yang hebat diantara bangsa-bangsa di Benua Asia dan Afrika. Pada saat itu buah dari solidaritas adalah terbebasnya banyak negara dari belenggu penjajahan. Setelah penyelenggaraan KAA beberapa negara menyatakan kemerdekaannya. Solidaritas KAA saat ini sebaiknya bertransformasi di bidang ekonomi.
Kini kondisi dunia diwarnai dengan ketegangan politik dan peperangan di berbagai wilayah. Perang terbuka dengan senjata canggih hingga perang asimetris semakin mengancam perdamaian dunia. Kondisinya semakin menyedihkan karena terjadi juga perang dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Negara sedang berkembang, khususnya di Benua Asia dan Afrika perekonomiannya kian terseok-seok akibat aksi kapitalisme global yang berusaha menguasai sektor perekonomian hingga ceruk pasar yang paling dasar. Ibarat Singa yang begitu rakus hingga memakan rumput.
Kini bentuk solidaritas bangsa Asia Afrika masih relevan dan aktual, sebaiknya dirumuskan kembali sesuai dengan kondisi terkini. Karena bentuk eksploitasi dan penjajahan sejatinya masih ada. Tetapi dalam bentuk yang lain. Masih banyak bangsa di Asia Afrika terpaksa menjadi penyedia sumber daya alam atau bahan mentah semata. Hak dan kekayaan alam dikuras pihak asing tanpa ada proses nilai tambah yang bisa memakmurkan rakyat. Bahkan masih ada suatu bangsa yang sumber dayanya disita sedemikian kejinya oleh perusahaan multinasional.
Dibutuhkan kepemimpinan otentik di negara Asia Afrika untuk mengatasi eksploitasi gaya baru dan mencegah fenomena singa makan rumput. Perlu usaha untuk merumuskan dan menghasilkan kepemimpinan otentik yang lebih banyak lagi di Asia Afrika. Baik itu kepemimpinan di domain bisnis maupun pemerintahan.
Kajian yang dilakukan oleh Bill George seorang profesor di Harvard menyatakan bahwa kepemimpinan otentik diakselerasi dan berkembang oleh dialektika dan perjuangan yang berbasis lokalitas.
Perekonomian sebagian negara Asia Afrika, termasuk di Indonesia saat ini bisa dianalogikan bahwa berbagai sektor dan kebijakan diwarnai oleh fenomena Singa makan rumput. Yang mana Singa merupakan gambaran dari perusahaan global/multinasional yang tengah beraksi di negeri ini untuk meraup belanja negara dan belanja masyarakat hingga skala yang terkecil. Kalau Singa sudah makan rumput, lantas yang lain makan apa ? Fenomena Singa makan rumput di negeri ini terjadi di seluruh aktivitas perekonomian bangsa dan pembangunan infrastruktur.
Melawan Singa tentunya tidak mudah, dibutuhkan daya inovasi dan kemampuan untuk menggenjot produktivitas dan nilai tambah berbasis lokalitas.
Peringatan ke-69 Konferensi Asia Afrika perlu digaungkan kembali terhadap 109 negara di Asia dan Afrika. Peringatan perlu reinventing penyelenggaraan Asia Africa Business Summit (AABS) yang menghadirkan Chief Executive Officer (CEO) dari negara Asia Afrika.