Hiperterorisme di Konser Moskwa, Â Mungkinkah Terjadi di Indonesia ?
Dunia dikejutkan oleh serangan berdarah oleh kelompok teroris pada Jumat (22/3/2024) di Crocus City Hall, pinggiran sebelah barat Moskwa. Sedikitnya 60 orang tewas dan 145 orang lainnya luka-luka. Melalui pernyataan di saluran Telegram, kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Mungkinkah serangan tersebut terjadi di Indonesia ?
Saat serangan teroris terjadi, penonton tengah memadati ruangan teater berkapasitas 6.200 kursi tersebut. Penonton sudah duduk di kursi masing-masing dan pertunjukan konser akan dimulai ketika tiba-tiba sedikitnya lima pria bersenjata menembaki mereka.
Serangan teroris di Crocus City Hall Maskwa mengingatkan kita terhadap serangan di Brussels, Belgia beberapa tahun yang lalu. Teroris kembali melancarkan serangan kota. Indonesia juga harus siap menghadapi hiperterorisme dengan modus perang kota atau serangan terbuka.
Aksi yang membaur dengan keramaian masyarakat kota tentunya sangat sulit diatasi. Meskipun antisipasi aparat intelijen dan kepolisian sudah sedemikian ketat dan terus menerus, tetapi tetap saja kecolongan karena aparat tidak mungkin menempel aktivitas jutaan warga kota.
Teroris itu bukan aksinya yang dikapitalisasi, namun rasa takut rakyat dan gangguan ekonomi yang dituju. Aksi teroris di Rusia hendaknya diantisipasi pihak Indonesia dengan meningkatkan status keamanan khususnya infrastruktur publik. Dunia dihadapkan lagi pada masalah keamanan infrastruktur publik yang terancam oleh aksi teroris. Apalagi organisasi teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) ternyata menggeliat lagi dan terus melatih kelompok mereka untuk melakukan serangan berikutnya.
Celakanya infrastruktur publik di negara maju sekalipun kondisinya masih rentan dan mudah dijadikan sasaran.Salah satu infrastruktur yang sangat rentan terhadap aksi terorisme adalah pusat perbelanjaan, tempat hiburan, stasiun dan bandara.
Aksi terorisme kini telah berkembang pesat ke arah apa yang disebut sebagai hiperterorisme. Baik dalam hal strategi maupun taktiknya. Aksi teroris telah memanfaatkan berbagai bentuk teknologi terkini untuk melakukan perang kota. Mereka sudah seperti pasukan komando yang diperlengkapi dengan senjata plus teknologi informasi dan simulasi. Bahkan, untuk berbagai operasi para teroris sudah memakai teknologi surveillance dan kendaraan yang mampu bergerak cepat.
Fenomena hipertelorisme ditandai dengan kemampuan teroris untuk membuat simulasi target. Sehingga sangat memudahkan mereka saat beroperasi. Dalam operasinya para teroris juga menggunakan prinsip pencitraan hingga akhir hayatnya untuk mempengaruhi psikologis khalayak. Hal tersebut analog dengan teori Jean Baudrillard dalam The Illusion of the End, yang menyatakan bahwa aspek menarik dari peristiwa terorisme bukanlah kekerasan, tetapi cara kekerasan ini diberi modal publisitas melalui televisi dan internet.