Strategi Mencetak Kelas Menengah Tangguh di Tangan Menkeu
Banyak yang tidak sadar bahwa Menteri Keuangan sangat menentukan nasib kelas menengah dis amping mengatur kebijakan anggaran yang mesti pro rakyat miskin. Kebijakan fiskal yang tertuang dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dimotori oleh Menkeu sangat menentukan pencetakan kelas menengah yang tangguh. Atau sebaliknya menyebabkan posisi kelas menengah di tepi jurang kemiskinan.
Setiap pergantian pemerintahan atau Presiden baru, publik dan pasar tidak sabar dan ingin segera mengetahui sosok Menteri Keuangan (Menkeu) yang bakal ditunjuk. Sepanjang masa figur Menkeu menunjukkan arah pembangunan.Â
Pemilu 2024 baru saja usai, publik dan pasar sudah berspekulasi tentang sosok Menkeu yang akan membantu Presiden terpilih. Banyak pihak yang memprediksi bahwa Menkeu Sri Mulyani Indrawati bakal tidak masuk kabinet lagi jika Prabowo Subianto secara resmi terpilih.Â
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Prabowo kurang sreg dengan Sri Mulyani karena masalah anggaran belanja alutsista. Menteri Keuangan yang masuk deret terbaik di dunia ini sangat berhati-hati dalam mengelola anggaran dan belanja negara termasuk untuk pembelian alutsista.
Kebijakan menkeu sangat berpengaruh terhadap nasib kelas menengah. Seperti misalnya instrumen fiskal yang sangat berpengaruh terhadap suku bunga kredit perumahan yang tentunya sangat mempengaruhi kondisi ekonomi kelas menengah.
Sosok Menkeu juga bisa menjadi gambaran tentang haluan ekonomi suatu rezim. Beban berat Menkeu pemerintahan baru sudah jelas didepan mata.Â
Begitu pula dengan kewenangan yang luar biasa dari Menkeu yang termaktub dalam undang-undang diharapkan tidak menjadi belenggu abadi terhadap kelas menengah.Â
Kewenangan besar tersebut harus diakselerasi sehingga bisa mencetak kelas menengah yang berkualitas dan tangguh menghadapi era disrupsi.Â
Antara lain kewenangan yang terkait dengan insentif fiskal. Apalagi jika nantinya ada pergeseran atau pencabutan terhadap subsidi BBM yang selama ini banyak yang salah sasaran.Â
Selama ini subsidi BBM seperti misalnya subsidi LPG gas melon 3 kg yang mestinya diperuntukkan kepada rakyat miskin ternyata banyak yang "dicaplok" oleh kelas menengah dan kelas atas tanpa rasa malu.
Mestinya Menkeu bersikap tegas terkait dengan jumlah subsidi energi yang dari dari tahun ketahun terus melambung karena subsidi tersebut salah sasaran.
Inteligensi Keuangan Negara
Dalam situasi penyelenggaraan negara yang seperti sekarang ini, dibutuhkan sosok Menkeu yang pro rakyat dan sekaligus mampu menciptakan inteligensi keuangan negara.
Pro Rakyat dalam arti memiliki mazhab yang kuat dalam hal pembagian kue pembangunan yang berbasis keadilan sosial. Hal itu tercermin dalam politik anggaran nasional dan daerah.Â
Selama ini proses penyusunan anggaran kurang menyerap aspirasi rakyat luas. Akibatnya, postur anggaran belum menampakan harapan baru dari sisi kepentingan rakyat luas. Bahkan mencuatkan berbagai kekhawatiran sehubungan dengan lemahnya elemen pengendalian dan pengawasan.
Jika dilihat dari volumenya maka kebanyakan APBD kurang signifikan dibandingkan dengan faktor demografi, geografis serta pertumbuhan IPM.Â
Para penguasa cenderung memutuskan belanja untuk sektor publik masih dibawah belanja birokrasi. Buruknya proses dan kualitas penyusunan APBD merupakan indikasi bahwa kebijakan keuangan di negeri ini belum pro rakyat.
Menkeu mendatang harus mampu meningkatkan kualitas dan pemenuhan prinsip umum penyusunan APBD yang mengedepankan partisipasi rakyat, transparansi, dan disiplin anggaran.
Apalagi selama ini sistem keuangan di negeri ini belum bisa mengatasi distorsi pada perekonomian dan mencegah konsumsi yang eratik atau tak menentu.Â
Sistem utama pengelolaan keuangan daerah secara teoritis meliputi, planning, budget preparation, budget execution dan accounting, hingga kini masih dalam kondisi yang kurang baik.
Begitu juga dengan manajemen aset yang buruk, semakin merugikan keuangan negara. Mestinya aset pemerintah pusat dan daerah yang jumlahnya sangat besar dikelola lebih baik sehingga menghasilkan keuntungan optimal.Â
Pentingnya memahami filosofi dari manajemen aset. Yakni "Optimizing the utilization of assets in terms of service benefit and financial return". Yang mengandung pengertian bahwa pengelolaan aset membutuhkan minimalisasi biaya kepemilikan (minimize cost of ownership), memaksimalkan ketersediaan aset (maximize asset availability) dan memaksimalkan penggunaan aset (maximize asset utilization).
Sayangnya, hingga saat ini keberadaan dan pengelolaan aset negara dalam kondisi yang memprihatinkan. Banyak pejabat yang belum mengelola aset itu secara efektif, efisien dan profit.
Keniscayaan, menkeu mendatang dihadang oleh kondisi anggaran yang semakin terkuras untuk belanja pegawai daerah.
Makin banyak daerah yang APBD-nya minus hingga ratusan miliar rupiah. Apalagi pendapatan asli daerah kian terpuruk karena kepala daerah kurang berusaha keras dan miskin inovasi.Â
Tak pelak lagi, besaran gaji pegawai semakin menyingkirkan kepentingan rakyat. Alokasi belanja pembangunan semakin langka karena para kepala daerah bersikap jalan pintas yang menjadikan Dana Alokasi Umum (DAU) semuanya untuk gaji birokrat.
Menkeu juga harus mencari solusi yang tepat terkait dengan sistem dana pensiun pegawai yang pada saat ini menyebabkan struktur APBN menjadi riskan karena dana yang ditanggung akan berubah-ubah bergantung pada jumlah ASN yang pensiun setiap tahunnya.Â
Tantangan lain bagi Menkeu yang baru adalah bagaimana menciptakan intelegensi sistem keuangan negara. Sehingga ekosistem keuangan negara bisa menjadi sistem cerdas yang bisa membantu secara baik proses pembangunan.
Jika Menkeu berhasil membangun sistem keuangan negara yang bersifat inteligensi maka modus penyelewengan pajak yang sekarang ini sudah seperti fenomena puncak gunung es bisa diatasi dengan baik. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H