Mati Ketawa Cara Kompasiana Blokir Akun Anggota
Menyimak konten di Kompasiana banyak kelucuan, keanehan, keharuan hingga kekonyolan yang terjadi silih berganti. Kadang saya cengar-cengir menghayati kelakuan diri sendiri yang masih semangat dan tulus ikhlas memproduksi konten artikel untuk saya "titipkan" di Kompasiana.
Nurani saya kadang berbisik, " waras tah awakmu !, kok mau-maunya jadi penulis di Kompasiana ?", bisik lirih nuraniku. "Dapat apa dirimu, kok "tiwas" makan hati dan buang-buang waktu saja ?.", ejek nuraniku lebih lanjut.
Bisa jadi nuraniku benar, tetapi nafsu dan gairahku tetap saja ingin menulis di Kompasiana meskipun "anak-anak" saya sering diperlakukan tidak adil oleh pengelola Kompasiana. Anak-anak yang saya buat dengan sepenuh hati, curah pikiran, memeras ingatan bahkan dengan cara bedah kasus dan analisa, sering diperlakukan tidak adil oleh pengelola Kompasiana.
Hari ini saya dibuat terbahak-bahak melihat salah satu akun penulis Kompasiana "diberangus" alias diblokir. Padahal pemilik akun Kompasiana itu baru saja mendapat anugerah angka tertinggi atau rangking pertama dalam program "bansos" Kompasiana dengan tajuk K-REWARDS. Sungguh fenomena yang amat lucu dan patut disebut "Mati Ketawa Cara Kompasiana". Bukan saya iri dengki dengan penerima anugerah tersebut. Tidak sama sekali.
Saya hanya penasaran dengan fenomena mati ketawa itu. Saya telah teliti, konten-konten yang ada di akun kawan kita yang diberangus itu. Hasilnya saya semakin tidak paham apa sebabnya akun itu diberangus. Padahal konten-konten itu menurut hemat saya tidak berdosa. Dan nyata-nyata telah dilihat dan dibaca banyak orang, hingga puluhan ribuan. Meskipun isinya adalah sesuatu yang sederhana, tetapi apa salahnya kalau itu dibaca banyak orang. Dan tentu saja ini bisa mengalirkan deras fulus monetisasi ke kantong Kompasiana. Saya belum paham kenapa akun itu mesti di berangus. Apakah ada pihak-pihak yang iri dengki, sirik tanda tak mampu lalu protes kepada pengelola Kompasiana ?
Saya Titipkan "Anak" di Kompasiana
Izinkan saya paparkan bagaimana perlakuan pengelola kompasiana terhadap "anak-anak" saya yang cukup mengiris hati. Saya hanyalah rakyat jelata yang diliputi kegelisahan melihat kondisi negeri ini. Saya tidak punya apa-apa, namun setiap hari saya berusaha membuat anak-anak kalimat, menyusun kata demi kata, mengawinkan peristiwa, membedah tata kelola negara, dan menggempur setan-setan yang berdiri mengangkangi keadilan sosial. Dan jadilah anak-anak saya yang berupa artikel untuk Kompasiana.
Pengelola Kompasiana menurut hemat saya ibarat badan sensor konten tulisan yang kaku dan suka-suka terkait dengan syarat dan ketentuan bagi kreator konten yang ingin menitipkan "anak-anaknya".
Pengelola juga belum mampu menghargai jerih payah terkait dengan monetisasi. Pun begitu para Kner tetap semangat dan bersikap tulus ikhlas serta terus memenuhi taman Kompasiana dengan anak-anak buah hatinya. Sayangnya anak-anak itu tidak semua ditumbuh kembangkan dengan baik, tidak jarang justru mengalami diskriminasi karena stempel konten yang berbau oposisi rezim penguasa, konten yang bisa mengusik status quo, membangkitan perlawanan terhadap tirani. Pokoknya konten-konten yang sejenis itu bakal diperlakukan tidak adil oleh pengelola.
Beberapa kali saya "niteni" dan investigasi terhadap artikel-artikel saya yang boleh dibilang kritis, tajam dan sesuai dengan kondisi sosial di masyarakat. Yang seperti ini pasti tidak bisa menjadi artikel pilihan, apalagi artikel utama (AU). Saya maklum, dalam pikiran saya para pengelola Kompasiana saat ini kalau tidak salah rata-rata usianya sepadan dengan anak biologis saya.
Atau bisa jadi sepantar dengan adik-adik saya. Kalau memang begitu mereka tentu tidak mengalami zaman pergerakan dan perjuangan untuk merobohkan tirani kekuasaan rezim yang despotik. Hal itu tentunya menyebabkan persepsi politik dan jiwa kerakyatan yang "berbeda" dalam melihat artikel yang tajam dan kritis yang sebenarnya patut disuguhkan kepada khalayak.
Ijinkan saya cerita singkat terkait dengan artikel-artikel saya, salah satunya bertajuk "Jurus Meja makan ala Jokowi, Netralitas Hanyalah Fatamorgana" (31 Oktober 2023). Melihat judulnya saja, sudah barang tentu pengelola Kompasiana "mengharamkan" artikel tersebut menjadi artikel pilihan. Padahal artikel itu adalah potret obyektif yang saya jepret dari tengah-tengah publik.
Setelah saya telisik artikel tersebut banyak dibaca oleh khalayak dunia maya. Saya lihat artikel tersebut juga ditayangkan di akun X ( Twitter ) Kompasiana, dalam waktu yang tidak lama dilihat/dibaca oleh khalayak dalam jumlah yang melebihi konten lainnya. Seperti dalam gambar diatas, akun tersebut hingga dua jam saja dilihat/dibaca sebanyak 468. Yang aneh dan lucu, setelah artikel itu mendapat perhatian yang baik, tiba-tiba oleh pengelola Kompasiana konten saya itu langsung dihapus ( take down ) dari akun X. Begitu juga argo gambar mata ( viewer ) di laman Kompasiana terkunci sehingga angkanya terhenti. Saya sangat menyayangkan sikap seperti diatas. Sungguh ironis, mestinya semua artikel-artikel diviralkan tanpa batas dan tidak "dihambat" pembacanya. Kasus-kasus seperti ini saya amati terjadi beberapa kali di akun saya. Selain itu saya amati juga artikel-artikel yang kritis, tajam dan akurat selalu tidak diviralkan lewat mekanisme Google Chrome. Hal ini sungguh tidak bisa dinalar bila ditinjau dari aspek SEO untuk monetisasi Kompasiana.
Dan saya cuma bisa mengelus dada melihat ketidakadilan dan sikap kekanak-kanakan tersebut. Semoga Kompasiana diberi jalan terbaik untuk mawas diri. Semoga Kompasiana terhindar dari sikap kesombongan yang suka menepuk dada karena merupakan wahana blogger terbesar se dunia. Apa iya seperti itu kenyataannya ? Saya tidak tahu, mari kita tanya kepada angin, burung dan rumput yang sedang bergoyang. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H