Beberapa kali saya "niteni" dan investigasi terhadap artikel-artikel saya yang boleh dibilang kritis, tajam dan sesuai dengan kondisi sosial di masyarakat. Yang seperti ini pasti tidak bisa menjadi artikel pilihan, apalagi artikel utama (AU). Saya maklum, dalam pikiran saya para pengelola Kompasiana saat ini kalau tidak salah rata-rata usianya sepadan dengan anak biologis saya.
Atau bisa jadi sepantar dengan adik-adik saya. Kalau memang begitu mereka tentu tidak mengalami zaman pergerakan dan perjuangan untuk merobohkan tirani kekuasaan rezim yang despotik. Hal itu tentunya menyebabkan persepsi politik dan jiwa kerakyatan yang "berbeda" dalam melihat artikel yang tajam dan kritis yang sebenarnya patut disuguhkan kepada khalayak.
Ijinkan saya cerita singkat terkait dengan artikel-artikel saya, salah satunya bertajuk "Jurus Meja makan ala Jokowi, Netralitas Hanyalah Fatamorgana" (31 Oktober 2023). Melihat judulnya saja, sudah barang tentu pengelola Kompasiana "mengharamkan" artikel tersebut menjadi artikel pilihan. Padahal artikel itu adalah potret obyektif yang saya jepret dari tengah-tengah publik.
Setelah saya telisik artikel tersebut banyak dibaca oleh khalayak dunia maya. Saya lihat artikel tersebut juga ditayangkan di akun X ( Twitter ) Kompasiana, dalam waktu yang tidak lama dilihat/dibaca oleh khalayak dalam jumlah yang melebihi konten lainnya. Seperti dalam gambar diatas, akun tersebut hingga dua jam saja dilihat/dibaca sebanyak 468. Yang aneh dan lucu, setelah artikel itu mendapat perhatian yang baik, tiba-tiba oleh pengelola Kompasiana konten saya itu langsung dihapus ( take down ) dari akun X. Begitu juga argo gambar mata ( viewer ) di laman Kompasiana terkunci sehingga angkanya terhenti. Saya sangat menyayangkan sikap seperti diatas. Sungguh ironis, mestinya semua artikel-artikel diviralkan tanpa batas dan tidak "dihambat" pembacanya. Kasus-kasus seperti ini saya amati terjadi beberapa kali di akun saya. Selain itu saya amati juga artikel-artikel yang kritis, tajam dan akurat selalu tidak diviralkan lewat mekanisme Google Chrome. Hal ini sungguh tidak bisa dinalar bila ditinjau dari aspek SEO untuk monetisasi Kompasiana.
Dan saya cuma bisa mengelus dada melihat ketidakadilan dan sikap kekanak-kanakan tersebut. Semoga Kompasiana diberi jalan terbaik untuk mawas diri. Semoga Kompasiana terhindar dari sikap kesombongan yang suka menepuk dada karena merupakan wahana blogger terbesar se dunia. Apa iya seperti itu kenyataannya ? Saya tidak tahu, mari kita tanya kepada angin, burung dan rumput yang sedang bergoyang. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H