Layar sejarah telah menyajikan lakon, betapa belia politisi dan pemimpin Indonesia tempo dulu. Dalam usia yang sangat belia mereka telah malang melintang, dan jatuh bangun dalam perjuangan politik. Hebatnya lagi, meski belia namun kekuatan narasi dan tradisi intelektual mereka telah mencapai tingkat kematangan.
Mereka adalah figur-figur intelektual publik yang sangat visioner. Dengan predikat sebagai intelektual publik yang disertai kekuatan narasinya, maka rakyat luas mudah memahami ide, gagasan dan sepak terjang kepolitikannya.
Kita bisa membaca jejak sejarah, dalam usia yang sangat belia Soekarno sebagai intelektual publik menulis Indonesia Menggugat yang menggetarkan dunia. M.Natsir menulis beberapa artikel ideologis dan kemudian dikumpulkan dalam Capita Selecta yang mencerahkan kehidupan demokrasi pada saat itu. Hatta menulis Indonesia Merdeka dan sederet tulisan lainnya. Sjahrir menulis Renungan dalam Tahanan. Mereka adalah aktivis belia sekaligus intelektual publik yang benar-benar mengagumkan dan sangat menjunjung sopan santun politik.
Pada saat ini postur politisi muda di Indonesia masih diwarnai dengan mekanisme dinasti politik, nepotisme dan lemahnya kekuatan narasi.
Meminjam teori Niccolo Machiavelli, kini semakin banyak politisi oportunis yang perilakunya cenderung menjauhi proses politik yang elegan, karena dirasa tidak efektif untuk mencapai tujuan. Di batok kepalanya politik praktis harus senantiasa berkonsentrasi pada Verita Effettuale ( cara efektif ) untuk mendapatkan dan menggenggam kekuasaan secepatnya.Akibatnya jagat politik tak lebih dari sekedar transaksi bisnis kekuasaan. Sehingga fatsoen (tata krama ) politik dan moralitas menjadi ukuran usang yang tidak perlu digunakan lagi.
PDI Perjuangan adalah satu-satunya parpol di Asia dengan standar kualifikasi manajemen ISO 9001;2015. Atas berbagai upaya pelembagaan Partai tersebut, PDI Perjuangan mendapatkan apresiasi dengan elektoral partai yang tertinggi berkisar 24-26 persen.
Kesiapan PDI Perjuangan untuk mengikuti seluruh tahapan Pemilu 2024 telah mencapai kematangan. PDI Perjuangan juga berusaha menjunjung etika dan sopan santun politik, serta tidak pernah mengganggu rumah tangga partai lain, apalagi dengan cara "membajak" kader partai lain.
Rekrutmen caleg dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota telah menjaring 27.802 bakal caleg. Seluruh bakal caleg telah mengikuti psikotes dan sekolah partai Anti Korupsi bekerja sama dengan KPK. Konsolidasi yang dilakukan secara menyeluruh serta tingginya elektabilitas Partai dan persiapan yang matang.
Bu Megawati pernah menyerukan kepada elit partai agar tidak perlu ikut dansa politik, karena kerja bersama mengatasi kondisi rakyat yang sarat masalah jauh lebih penting. Hal itu ditegaskan dalam rapat koordinasi kepala daerah PDIP di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Ternyata oh ternyata, dansa-dansi politik Gibran itu terbukti telah menusuk hati segenap PDI Perjuangan.
Bu Megawati paham dengan premis yang menyatakan bahwa pemimpin itu sepi, karena semua tanggung jawab menuju dirinya. Namun, dalam kesepian itu dirinya bisa lebih efektif menyelesaikan pilihan yang sulit serta menghasilkan kerja detail sebaik mungkin untuk menggenjot kinerja partainya.
Betapa sabarnya segenap DPP PDI Perjuangan, dengan prinsip kesabaran revolusioner, kasus pengkhianatan Gibran itu tidak diambil pusing. Mereka justru sedang merumuskan konsepsi paham Marhaenisme kontemporer untuk pasangan Ganjar -- Mahfud. PDI Perjuangan sedang mengaktualisasikan Marhaenisme dalam gerakan saat ini. Apalagi partai ini punya prinsip "Ojo Pedhot Oyot ( Jangan Putus Akar ). Tentunya akar sejarah diri dan bangsanya. (TS)