Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Lebih Afdal Pilih Caleg Nomor Tengah ke Bawah, Kenapa?

14 Oktober 2023   14:17 Diperbarui: 17 Oktober 2023   04:30 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap penyelenggaraan pemilu menurut pengamatan saya selalu terjadi cakar-cakaran atau sikut-sikutan sesama caleg dalam satu parpol. Nomor urut caleg dalam kertas suara menjadi penyebab perselisihan hingga perang dingin antar caleg separtai.

Selama ini nomor urut pertama, kedua, dan ketiga menjadi incaran dan rebutan. Tak mengherankan banyak caleg yang berusaha dengan berbagai cara mendapatkan nomor tersebut. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa nomor urut pertama nuansanya kental dengan kolusi dan kroni pengurus parpol. Atau diberikan kepada sosok yang memiliki sumber keuangan yang besar. Dalam bahasa rakyat mereka disebut sebagai cukong politik.

Tidak jarang untuk merebut nomor papan atas tersebut para caleg menggunakan jasa tukang survei yang bisa merekayasa elektabilitas semu dari sang caleg. Tahapan pemilu selalu diwarnai dengan bujuk rayu tukang survei yang bermaksud menjual jasa rekayasa elektabilitas. 

Tukang survei yang biasanya merangkap peran sebagai konsultan politik kian marak karena lemahnya regulasi dan kondisi tata kelola parpol yang hanya dilakukan tergesa-gesa menjelang pemilu, akibatnya sistem rekrutmen caleg amburadul atau asal-asalan.

Saran saya dalam memilih caleg yang tertera dalam kertas suara Pemilu 2024 sebaiknya coblos salah satu caleg dengan nomor urut tengah ke bawah. Mengapa begitu ? Karena caleg nomor tengah ke bawah relatif bebas dari modus cukong politik. Juga bukan kroni pengurus. Melainkan mereka yang berkeringat dalam berpolitik.dan lebih tulus dalam mengelola aspirasi rakyat jika terpilih.

Sesaat setelah pencoblosan biasanya caleg nomor atas ada yang bermain dengan perolehan suara yang diraih oleh partainya. Bahkan ada yang "belanja" suara. 

Istilah belanja adalah mengalihkan perolehan suara tertentu untuknya. Perjalanan surat suara dan form C1 sesaat setelah kegiatan TPS selesai memasuki kondisi yang cukup krusial. Oleh sebab itu caleg papan tengah dan bawah mesti bersatu mengawal perolehan suara.

Fakta menunjukkan bahwa sengketa hasil pemilu yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (MK) kebanyakan terjadi pada proses rekapitulasi tingkat PPK (Kecamatan) dengan cara memanipulasi formulir C-1.

Postur caleg parpol belum sesuai dengan harapan rakyat luas. Sosok legislator yang didambakan oleh rakyat sangat kontradiktif dengan kepentingan pengurus parpol. 

Masih kuat dalam persepsi publik bahwa moralitas, integritas dan kapasitas legislator masih jauh dari harapan. Moralitas dan integritas mereka hingga periode legislatif saat ini masih sarat dengan perilaku korup.

Jangan pernah menuntut bahwa caleg mesti berpenampilan sederhana. Sosok calon legislator cendekiawan nan bersahaja hanya ada di negeri dongeng. Kondisi sosiologis masyarakat seperti saat ini sulit menghadirkan figur politisi cendekia yang artikulatif dan visioner pada zamannya.

Gambaran tentang legislator pertama Indonesia seperti Kasman Singodimedjo sudah sirna. Legislator pertama Indonesia banyak diisi oleh sosok yang cerdas bergaya hidup sederhana. 

Baginya memimpin adalah menderita, sesuai dengan pepatah Belanda "leiden is lijden". Pepatah itu menjadi suatu keharusan jalan pengabdian, bagi mereka yang memahami bahwa kebahagiaan rakyat lebih utama ketimbang pemimpinnya.

Melihat pola rekrutmen caleg oleh parpol saat ini sulit menemukan kembali sosok politisi intelektual publik. Tak bisa dipungkiri, hingga sekarang negeri ini belum memiliki postur lembaga legislatif yang memiliki integritas dan bobot profesionalitas yang memadai. 

Tahapan pemilu legislatif semakin tidak kondusif untuk menjaring anak-anak intelektual bangsa agar bersedia menjadi wakil rakyat. Karena tahapan pemilu 2024 spektrumnya terlalu luas karena semua dilakukan secara serentak.

KPU sebaiknya menerapkan sistem pemindai untuk mengelola hasil pemungutan suara di setiap TPS.Teknologinya mesti dipersiapkan secara matang. Juga dilakukan audit teknologi serta uji publik terhadap sistem tersebut. Karena penggunaan teknologi scanner, yakni OMR (Optical Mark Reader) mesti mencapai tingkat maturitas.

Jangan sampai sistem yang dibuat secara dadakan oleh tim yang dibentuk KPU itu justru menimbulkan kerawanan baru dan membuka peluang manipulasi hasil pemilu secara sistemik. Patut digaris bawahi bahwa pemindahan form C1 ke dalam format C1-IT sangat rawan manipulasi dan sulit diawasi oleh peserta pemilu.

Seluruh tahapan Pemilu 2024 diharapkan menjadi pesta demokrasi yang penuh kegembiraan dan kompetisi yang sehat. 

Selain itu bisa menggairahkan ekonomi kerakyatan. Karena setiap kontestan pemilu baik itu calon legislatif, calon anggota DPD, calon kepala daerah hingga capres dan cawapres semakin intens bersentuhan dengan rakyat di daerah. 

Sosialisasi kontestan pemilu tentunya membutuhkan biaya yang bisa meningkatkan denyut nadi perekonomian.

Menurut data yang dilansir oleh Bappenas menunjukkan ada korelasi positif antara tahapan Pemilu dengan perekonomian, utamanya perkembangan sektor UMKM. 

Seperti terlihat sepanjang tahapan Pemilu 2019 tercatat konsumsi rumah tangga mengalami pertumbuhan tinggi dan melampaui pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).

Ekonomi pemilu biasanya didominasi oleh produk alat peraga seperti poster, spanduk, kaos, banner, stiker dan produk desain visual lainya. Potensi ekonomi pemilu sebagian besar diraup oleh media massa, tukang survei dan usaha makanan dan minuman.

Pemilu di negeri ini telah mendorong tumbuhnya industri kampanye dari tingkat UMKM hingga bisnis tukang survei. 

Sayangnya, liberalisasi industri pemilu belum menerapkan etika yang baik. Akibatnya publik melihat tukang survei yang seenak udelnya sendiri mengumumkan elektabilitas pihak tertentu.

Aktivitas bisnis tukang survei yang bahasa kerennya disebut electioneer banyak yang mirip tukang ramal. Bisnis tukang survei baik berskala nasional maupun daerah tidak jarang mereka menerima order untuk menjatuhkan lawan politik lewat rekayasa angka survei dan pembentukan opini publik secara kasar. 

Selama ini kiprah tukang survei sering menimbulkan polemik yang kontraproduktif dan menimbulkan bermacam resistensi. 

Masalah kegiatan survei dan perhitungan cepat yang acap kali digugat karena bertentangan dengan peraturan yang menyatakan bahwa kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan metodologi yang digunakan serta paparan objektif dari pihak yang berada di belakang survei politik tersebut.

KPU sebagai penyelenggara pemilu semestinya memiliki hak untuk membuat peraturan partisipasi lembaga survei. 

Perlu ditekankan standardisasi teknis seperti kriteria sampel, banyaknya sampel (termasuk proporsi sampel), teknis pengambilan sampel, metode wawancara, dan informasi tambahan sehubungan dengan sampel ataupun populasi. 

Selama ini kaidah-kaidah di atas sering diabaikan. Sehingga publik menganggap sampel yang dijadikan tukang survei bisa jadi sampel fiktif.

KPU perlu bersikap tegas terhadap tukang survei sebagai langkah antisipasi mencegah dampak negatif dan keresahan masyarakat yang bisa menimbulkan kerusuhan. 

Jika kita amati topik utama dalam survei pemilu selama ini adalah rekayasa popularitas politisi. Target survei itu jelas membentuk persepsi dan sekaligus penilaian publik. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun