Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Harlah Pancasila dan Penyakit Belanda

1 Juni 2023   01:02 Diperbarui: 1 Juni 2023   01:04 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Karno merenung di bawah Pohon Sukun - foto KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)

Juni menjadi bulan istimewa bagi bangsa. Juni sebagai bulan Pancasila, juga sangat istimewa karena empat dari Presiden Indonesia lahir pada bulan Juni. Yakni Soekarno, Soeharto, BJ.Habibie, dan Joko Widodo.

Seperti tahun sebelumnya harlah Pancasila tahun ini ditempelin dengan tema "Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global". Lalu disambung dengan tagline "Aktualisasi Pancasila, Energi Pertumbuhan Indonesia".

Peringatan Harlah Pancasila tahun ini sangat istimewa dan relevan dengan kondisi bangsa saat ini sedang mengalami tahapan Pemilu 2024, yang akan memilih Presiden dan wakilnya. Mestinya para bakal capres dan cawapres dalam kesempatan ini mengupas tuntas visi dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila menghadapi tantangan zaman. Para Capres mestinya mampu menunjukkan kepada segenap warga bangsa apakah nilai Pancasila mampu mengendalikan semangat zaman. Para politisi selama ini sering membonceng Pancasila dengan slogan-slogan yang kurang realistis bahkan ada kelompok yang merasa paling Pancasilais.

Pancasila yang ditetapkan sebagai dasar negara telah menjadi visi bangsa yang telah mendunia. Visi, misi dan agenda aksi para capres dan cawapres yang akan bertarung dalam Pemilu 2024 sebaiknya mulai adu gagasan dan pemikiran yang diawali dengan aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang relevan pada saat ini. Ada baiknya para capres napak tilas hari kelahiran Pancasila sejak Bung Karno berimajinasi di bawah pohon Sukun di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) sewaktu dirinya diasingkannya oleh penjajah Belanda.

Visi ekonomi para capres hendaknya sesuai nilai tradisi Keindonesiaan yang telah membumi berabad-abad, esensinya adalah "holopis kuntul baris" yang identik dengan perilaku gotong royong yang telah diformulasikan secara ideologis oleh Bung Karno.

Visi aktualisasi Pancasila para capres sebaiknya menggunakan bahasa rakyat. Agar energi kolektif kebangsaan untuk bergotong royong bisa terakselerasi dengan baik untuk hadapi persaingan global yang semakin sengit. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa jalannya pemerintahan masih diwarnai oleh ketidakefektifan. Jalannya roda pemerintahan cocok dengan premis Warren Bennis. Yang mana pada prinsipnya premis pakar manajemen kepemimpinan itu menyatakan bahwa organisasi yang terlalu banyak dikelola dan terlalu sedikit dipimpin sehingga tidak bisa menjadi efektif. Harus diakui secara jujur bahwa organisasi pemerintahan selama ini dikelola oleh banyak tangan, banyak kepentingan, dan terlalu mudah kompromistis sehingga lambat mencapai tujuan. Dalam situasi global sekarang ini negeri ini membutuhkan kepemimpinan nasional dengan filosofi jari tangan aktif. Bukan jari tangan pasif yang mengatong atau menengadah mencari utang kemana-mana dalam mengelola pemerintahan.

Terkait dengan visi ekonominya, Presiden terpilih dalam Pilpres 2024 akan berhadapan dengan masalah berat terkait dengan penyakit Belanda beserta inversi dan turunannya. Oleh sebab itu para capres dan cawapres sebaiknya mulai memeras pikiran guna mencari solusi serta terobosan jitu untuk atasi masalah berat tersebut.

Penyakit Belanda atau Dutch disease merupakan fenomena yang menunjukkan hubungan antara peningkatan eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara besar-besaran dengan hancurnya daya saing sektor industri nasional. Fenomena seperti itu pernah dialami oleh negeri Belanda seperti dikemukakan oleh majalah The Economist yang secara gamblang menjelaskan adanya kehancuran sektor industri manufaktur di Belanda setelah penemuan sumber gas alam yang volumenya sangat besar pada 1959.

Implikasi fenomena diatas adalah bahwa kegiatan eksploitasi dan ekspor SDA bahan mentah secara besar-besaran oleh suatu rezim justru mendorong apresiasi nilai tukar mata uang negara tersebut dan berdampak pada menurunnya daya saing ekspor barang yang dihasilkan sektor produksi lain, selain sektor ekstraktif SDA. Dalam hal ini sektor industri atau manufaktur negara tersebut.

Fenomena penyakit Belanda telah menjadi penyebab utama deindustrialisasi pada negara yang keranjingan ekspor bahan mentah. Dari segi tingkat pertumbuhan ekonomi dan aktivitas pembangunan, negara yang terkena penyakit tersebut justru cenderung lebih rendah dibandingkan dengan negara lain yang justru tidak memiliki SDA.

Selama ini pemerintah melakukan pengerukan SDA secara besar-besaran tanpa menimbulkan proses nilai tambah yang berarti karena hanya dilakukan sebatas mengekspor bahan mentah tanpa hilirisasi dan minus proses pengolahan. Contoh kasus terakhir yang menghebohkan adalah kebijakan memberlakukan lagi ekspor pasir laut. Dimata publik ekspor pasir laut sangat keterlaluan, mengingat nilai tambahnya sangat kecil tetapi dampak ekologinya sangat parah di masa mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun