Salah satu isu yg berkembang di dunia pendidikan Indonesia pada saat ini adalah adanya polemik pro-kontra pelaksanaan UNAS. Kalau ditilik dari sisi legal-formal, dapat dikatakan UNAS yg diselenggarakan selama ini sesungguhnya patut dipertanyakan, karena telah kita ketahui beberapa waktu yg lalu mahkamah agung yg menangani gugatan dari sekelompok masyarakat jelas telah menjatuhkan “vonis” bahwa UNAS tidak dapat dilaksanakan sebelum melakukanlangkah perbaikan untuk meningkatkan kualitas guru dan sarana prasarana. Sementara pemerintah juga memiliki argumen tersendiri tetap mempertahankan pelaksanaan UNAS dari tahun ketahun.
Dalam perbincangan saya dengan sesama rekan guru, hampir banyak ditemukan pembelajaran di kelas yang orientasinya menjawab soal, yang akar permasalahannya adalah guru dituntut spy siswa-siswanya sukses dalam UNAS, dalam keterpaksaan ini banyak guru memaksakan kehendak dengan cara instan yang penting siswa hafal rumusnya untuk mengerjakan suatu soal. Ironisnya lagi, banyak sekolah yang pada tingkat akhir (kelas 9 smp dan 12 sma/smk) hanya mengadakan latihan soal UNAS saja dalam pembelajarannya terutama pada semester genap, bahkan materi yang seharusnya diajarkan di semestera genap tingkat akhir sudah "dirapel" di semester gasal, jadi di semester genap tingkat akhir siswa hanya di-drill latihan soal saja. Dalam perkembangan kriteria kelulusan siswa yang ditentukan oleh kombinasi antara nilai UNAS dan rapor, ditengarai banyak sekolah yang meng-upgrade nilai rapor siswa yang telah didapat pada kelas-kelas sebelumnya. Dan ada banyak kecenderungan banyak sekolah yang memberi nilai yang tinggi bagi siswa-siswanya demi mendapat nilai yang tinggi di rapor.
Kita lihat dalam perspektif akademisi, di dunia perguruan tinggi dosen-dosen juga tidak satu pemahaman dalam menanggapi sekalipun pada perguruan tinggi LPTK. Kelompok pro unas secara garis besar mendasarkan argumentasi dengan titik berat bahwa UNAS diperlukan kemanfaatannya bagi peningkatan prestasi siswa di Indonesia , disamping itu kemanfaatan lain yg dapat digunakan untuk pemetaan keampuan siswa di seluruh pelosok Indonesia shg hasilnya nanti dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan mengenai pendidikan. Sementara itu, kelompok kontra-UNAS berargumentasi, diantaranya : biaya untuk pelaksanaan UNAS demikian sangat besar dan seharusnya dapat dialokasikan untuk peningkatan sarana-prasarana, kapasitas guru ataupu hal-hal lain yg lebih penting terutama menganai isu pemerataan pendidikan. Alasan lain yg dapat dimunculkan adalah UNAS adalah sebagai bentuk ketidakpercayaan pemerintah terhadap pembelajaran di sekolah yg dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi. Alasan yg terakhir inilah yg sedikit banyak mematikan kreatifitas guru dalam pembelajaran, mereka dituntut untuk “menghalalkan” segala cara demi memperoleh nilai UNAS yg bagus. Akhirnya proses pembelajaran lebih banyak kepada teacher center daripada student center. Implikasinya pembelajaran banyak dipahami sebagai pemaksaan/penanaman materi dengan tujuan supaya siswa dapat mengerjakan soal-soal UNAS.
Menjadi penting bagi kita yg berada di dalam dunia pendidikan untuk menanggapi isu-isu yg sedang berkembang di dunia pendidikan, salah satunya terhadap polemik pelaksanaan UNAS ini. Dalam beberapa diskusi dengan beberapa rekan yg juga sebagai pengajar di sekolah yg lain, didapat beberapa tanggapan yg muncul. Tanggapan yg pertama memang bahwa UNAS memiliki manfaat setidaknya bagi siswa menjadi lebih semangat supaya mereka tidak sampai gagal dalam UNAS. Namun disisi lain memang UNAS kadang juga kontraproduktif bagi pelaksanaan pembelajaran yg lebih bermakna, artinya siswa “hanya” belajar untuk dapat mengerjakan soal saja, tidak lebih.
Dari gambaran diatas, jika kita ingin memahami hakekat terjadinya kontradiksi dalam dunia pendidikan harus kita sikapi secara proposional. Bahwa tidak hanya dalam dunia pendidikan, dalam dunia-dunia yg lain juga ada kontradiksi. Karena sepanjang kita hidup tidak terlepas dari kontradiksi. Dan justru dengan kontradiksi, ilmu dapat berkembang dan memberi manfaat kepada manusia. Bila kita kembalikan kepada konteks permasalahan polemik UNAS diatas, dapat kita pahami bahwa kita sedang memproses suatu bentuk evaluasi nantinya diharapkan mampu menjembatani perbedaan antara kelompok yg pro maupun kontra. UNAS sebagai figur yang mewakili kepentingan hasil tidak hanya menafikan proses yang telah dilalui siswa tetapi juga menafikan proses pembelajaran yang dilakukan guru. Namun perlu diingat juga bahwa jika tanpa evaluasi maka keberhasilan suatu proses tidak dapat diketahui, karena tidak ada ukuran yang jelas. Hanya jangan sampai tujuan evaluasi yang mulia ini justru merusak proses pembelajaran dan mematikan kreativitas guru. Lebih penting lagi, jangan sampai mengorbankan kepentingan siswa.
Namun, proses pembentukan evaluasi yang diterima semua fihak ini dapat terjadi bila kita semua dapat dengan pikiran jernih dan mengendorkan ego masing-masing disertai keikhlasan untuk memahami satu dengan yg lain, sehingga diharapkan dapat ditemukan solusi baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H