Irma Suryati mungkin hanya dikenal sebagai perajin kain perca yang dibentuk menjadi beragam aneka produk cantik. Perempuan 39 tahun ini adalah penyandang cacat fisik sejak lahir karena penyakit polio yang dideritanya. Ibu lima anak dan istri dan istri Agus Priyanto yang juga penyandang cacat.
Dia adalah perempuan perkasa dan pejuang kemanusiaan sejati. Keperkasaan dirinya bukan karena punya pasukan hebat. Tapi ia punya semangat juang yang tak kalah kuat dari para pejuang kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Dalam perbincangan yang sersan (serius tapi santai), Irma menuturkan banyak hal yang mungkin telah dirilis oleh beragam media massa baik yang mainstream maupun media sosial.
Sehari menjelang Idul Fitri 1435 H, udara malam itu terasa cukup hangat. Di antara rasa lelah dan kantuk, bersama Ketua Panitia Pelaksana Karya Bakti untuk Negeri (KBN) 2014, Wisnu Darmaji yang Komandan Korps Suka Rela (KSR) PMI Unit STIKes Muhammadiyah dan juga orang Gombong. Kami berboncengan menuju kediaman yang berfungsi ganda sebagai showroom Mutiara Handycraft. Tempat produksi aneka produk perca kualitas ekspor serta asrama para pekerja yang kesemuanya penyandang cacat tubuh. Kami disambut hangat oleh Ibu Irma Suryati.
Setelah bersalaman dan sedikit basa-basi, kami mengutarakan maksud kedatangan kepada beliau. Seolah tanpa beban yang semula menjadi ganjalan berat dalam benak saya beberapa hari terakhir, kepenatan itu sirna. Ibu Irma menyatakan siap “memborong” seluruh sisa stand Bazar Relawan dan Potensi Kreatif Rakyat dalam rangkaian kegiatan KBN. Tanpa rasa sungkan, kami berucap “ alhamdulillah “. Puji syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Plong… hilang satu beban pikiran yang cukup mengganggu ini.
Berkali-kali katakan kepada Wisnu, inilah ” blessing in disguish (hikmat yang tersembunyi” dari silaturahmi. Apalagi di bulan Ramadhan yang penuh berkah, ampunan dan manfaat. Berkah Ramadhan 1435 H benar-benar kami rasakan dalam menyempurnakan ihtiar. Dari niat yang tulus menguatkan organisasi kemanusiaan Palang Merah Indonesia (PMI) sesuai tujuan berdirinya Kampoeng Relawan. Dan dalam bayang-bayang sinisme orang-orang yang tak pernah rela akan kelebihan daya orang lain.
Tapi harus diakui bahwa semangat juang dan daya tahan beliau jauh lebih kuat dibanding saya yang dianugerahi tubuh sempurna. Juga kesempatan mengenyam pendidikan yang jauh lebih baik dan maju. Serta yang membuat saya harus menertawakan diri adalah semangat juangnya. Lebih kuat dari penerus Pelajar Pejuang Kemerdekaan (Tentara pelajar) yang selama ini menjadi modal besar untuk menopang pilihan di jalur wirausaha.
Pelajaran penting yang saya terima dari beliau adalah kepercayaan diri sebagai modal utama berwirausaha. Dan kepedulian kepada sesama merupakan tiang penyangganya. Tanpa sedikitpun nada menggurui, apalagi menyombongkan diri, Ibu Irma Suryati menjelaskan secara singkat betapa pemerintah belum mampu mewujudkan amanat kemerdekaan Bangsa Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kaum cacat atau difabel seperti dirinya senantiasa dipandang sebelah mata. Diperlakukan diskriminatif dan acapkali hanya dimanfaatkan untuk kepentingan sektarian sempit.
Betapa dirinya acapkali menerima perlakuan tidak manusiawi dari orang-orang dan lembaga yang diberi amanat konstitusional tadi. Bagaimana mungkin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan jika perlakuan kaum berketerbatasan fisik (difabel) seperti dirinya lebih sering di- “belas-kasihani” ketimbang diberi kesempatan sama selaku warga negara lainnya? meski telah berulangkali membuktikan kapabilitasnya sebagai petarung tangguh di dunia bisnis dan sosial.