Preman !!! Kata yang akhir-akhir ini cenderung dimaknai negatif. Tubuh kekar, berambut gondrong, selalu berjaket hitam dan celana denim dan beragam bentuk penampilan”sangar” lainnya. Istilah ini dulu disebut GALI (yang sebenarnya kependekan dari Gabungan Anak Liar), bajingan tengik dan sebagainya. Singkat kata, preman adalah orang jahat dan mungkin bengis.
Realitas sosial kita memang menunjukkan kecenderungan seperti gambaran tadi. Tapi saya bangga sebagai cucu mBah Preman. Disebut begitu karena kakek pernah jadi anggota kompeni, tentara bayaran yang semuanya pribumi di jaman penjajahan Belanda. Dari cerita ayah, beliau lahir di Sigli Aceh sebulan menjelang peristiwa Sumpah Pemuda sebagai anak kompeni dan dibesarkan di Kampung Bali Matraman Jakarta Pusat.
Nama asli kakek adalah Mardjoeki, mantan penari dan abdi dalem di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Konon, sebagai penari handal kakek menarik perhatian dan mendatangkan benih cinta nenek yang “orang dalam” Keraton. Mereka kemudian menikah tanpa restu keluarga. Nenek “disebrat” alias diusir dari lingkungan dalam Keraton. Karena itu, kakek memutuskan pergi ke Batavia dan mendaftar jadi anggota kompeni. Berbagai kota dan daerah sasaran ekspansi ekonomi serta kepentingan politik pemerintah Hindia Belanda dijelajahi. Sampai suatu saat, kakek dikembalikan di Batavia dan tinggal di Kampung Bali.
Tak banyak kisah yang bisa saya dapatkan selama ayah masih kanak-kanak. Beliau hanya bercerita bahwa sebenarnya saya punya seorang bude yang tetap tinggal di Sigli bersama nenek karena menolak kepindahan kakek ke Batavia. Sebagai anak lelaki yang jauh dari kasih sayang ibu, ayah cenderung “bandel”. Memang ada bibi yang menempati rumah kakaknya dan menjadi “ibu pengganti”. Tentu berbeda dibanding ibu kandung. Ayah tumbuh sebagai remaja yang haus kasih sayang ibu.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Batavia, ia ingin hidup di Jogja di tanah leluhurnya. Tapi suasana awal Indonesia Merdeka, membuat remaja ini ikut di pergerakan dan aktif di Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Entah sebab apa, sebelum sampai di kota tujuan, ayah terdampar di Bandung dan bersekolah di salah satu SMP. Ketika IPI membentuk Bagian Pertahanan sebagai jawaban atas situasi aktual bangsa yang tengah mempertahankan diri dari rongrongan penjajah yang masih bernafsu ingin menguasai Republik Indonesia, ayah bergabung dengan badan itu dan ketika beganti nama jadi Tentara Pelajar Siliwangi (TPS), ayah ikut bergerak mengikuti arah gerakan pasukan pelajar pejuang itu. Termasuk mengikuti long march ke kantong – kantong gerilya dan sampai di Purworejo Jawa Tengah. Di wilayah ini, ayah bergabung dengan Kompi Wiyono bersama Kunto Wibisono yang saat itu bertugas sebagai petugas kesehatan (palang merah). Ayah tetap di bagian tempur sebagai kombatan.
Singkat cerita, keinginan kembali ke tanah leluhur Yogyakarta tak pernah jadi kenyataan sepanjang periode bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan penjajah. Bahkan ayah melewatinya dan tinggal di Solo. Di kota itu, beliau bergabung dengan Tentara Pelajar dari Kompi Prakoso dan berganti-ganti seksi atau pasukan. Pernah ikut Kompi Muktio dari SA/CSA, Seksi Mu’min dan sebagainya. Hal yang paling sering diceritakan adalah saat datangnya masa rehat perang. Ia dan teman-teman pelajar pejuang kembali ke bangku sekolah. Di saat berpapasan dengan patroli pasukan Belanda yang bukan NICA, ayah menyapa dengan bahasa Belanda yang fasih. Suatu ketika, pasukan Belanda yang melewati rombongan pelajar berhenti dan membagikan roti kering. Dengan senang hati, para pelajar setingkat SMP/SMA itu menghampiri, menerima pemberian dan berterima kasih. Begitu tentara Belanda wajib militer itu pergi, ayah membuka salah satu buku tebal bawaannya. Kalau tidak salah ingat berjudul “Kramer Woerdenboek”. Ternyata, di dalam buku tebal itu berisi pistol aktif dan magazin terisi penuh peluru.
Canda khas remaja muncul “awas…nanti malam giliranmu jadi sasaran pistolku ini..!!!”. Romantika remaja dan pelajar di jaman clash (aksi mempertahankan kemerdekaan) memang banyak diwarnai cerita heroisme. Kadangkala ditambah dengan selingan hal khusus. Semisal kebiasaan seorang yang dijuluki Jayadi Jepang yang selalu memenggal kepala musuh (NICA khususnya) dan menancapkan di perempatan jalan yang biasa dilalui patroli Belanda. Ya..Jayadi yang bertubuh pendek dan selalu membawa samurai di setiap saat ia bertempur. Kedua orang ini, ayah dan Jayadi Jepang, diceritakan sangat mobil. Sering berganti induk pasukan dan selalu mencari medan laga yang “menantang maut”.
Seusai masa perang kemerdekaan, ayah memutuskan berkarir militer di Kodam Siliwangi. Tahun 1953 beliau berkesempatan ikut pendidikan di SSKAD (sekarang Seskoad). Di tengah proses belajar di lembaga bergengsi di lingkungan TNI Angkatan Darat itu, ayah mendapat cobaan besar. Sebagai kadet, ia tak dibolehkan melawan instruktur dengan alasan dan cara apapun. Tapi peristiwa yang kemudian menjadi awal dan sekaligus akhir perjalanan karir militernya bermula dari teguran keras seorang instruktur berkebangsaan Belanda yang ditanggapi secara sangat emosional. Ayah menantang “duel maut” sang instruktur untuk menyelesaikannya. Hebatnya, sang instruktur mengiyakan tantangan itu.
***
Perjalanan hidup manusia tak kan ada yang tahu. Kita boleh berencana tentang apa saja, dan segala hal yang ada di dalam rasa dan karsa. Impian, cita-cita atau strategic planning adalah upaya yang wajib dilakukan sebatas kemampuan. Dalam satu keyakinan bahwa hasil telah ditentukan oleh Sang Maha Kuasa atas segala sesuatu di dunia dan alam raya ini.
Sejak bergabung dengan IPI Bagian Pertahanan (Tentara Pelajar Siliwangi), Dullah hampir tak pernah mengantar sayuran itu. Kecuali ketika ayahnya sakit atau pergi ke kota lain. Orangnya pendiam, santun dan taat beribadah. Ia selalu ditunjuk sebagai imam dan khotib shalat Jum’at di pasukan yang dipimpin Kang Ihin. Perkenalan dengan Djasmin terjadi karena sebuah kecelakaan kecil.
Saat itu, ia dan teman-teman pasukan bagian teknik sedang membersihkan juki. Senjata otomatis serupa brendgun ala pasukan Jepang. Untaian peluru akan dimasukkan ke kotak. Djasmin yang duduk tak jauh darinya tengah bersiap membersihkan pistolnya. Entah sebab apa, mungkin ceroboh dan tergesa-gesa, pistol itu belum dikunci dan melesatkan sebuah peluru yang mengenai dinding dan memantul kea rah badan Dullah yang tengah berkonsentrasi membereskan pekerjaannya. Orang-orang di sekitarnya berteriak: “ awas peluru… dasar budak gelo sia..!!”. Dullah bereaksi cepat dengan memiringkan badan dan menarik kotak peluru sekuatnya. Nahas, pantulan peluru itu menyerempet ibu jari kakinya sebelum mengujam ke tanah. Tidak membuat remuk, tapi darah mengalir cukup deras dari jarinya.
Takdir Illahi tak pernah ada yang tahu. Setelah peristiwa itu, Dullah dan Djasmin jadi sahabat karib. Djasmin yang selama ini merasa tak pernah punya saudara sepertinya menemukan pada diri seorang Dullah. Demikian juga dengan Dullah yang anak tunggal. Bahkan ia membimbing Djasmin beribadah dan mengajari Bahasa Sunda. Di sela waktu tanpa pertempuran, sesekali Dullah mengajak Djasmin berkunjung ke ladang dan rumah keluarga di Pengalengan. Mereka saling berbagi cerita, ilmu dan pengalaman.
*****
Adzan maghrib terdengar sayup-sayup dari rumah pak Engkus, ayah Dullah. Ketiga lelaki itu bergegas menuju mushala yang berjarak sekitar 20m. Selain juragan, pak Engkus adalah ajengan. Pemuka masyarakat dan imam di mushala itu. Begitu mengetahui kedatangan pak Engkus, seorang jamaah member tanda agar bilal (penyeru adzan) untuk iqomah. Semua bergegas mengisi baris-baris kosong di mushala yang tak seberapa besar itu untuk bersiap shalat.
Keakraban pertemanan antara Dullah dan Djasmin telah diketahui oleh pak Engkus dari cerita anaknya. Karena itu, kedatangan Djasmin di rumahnya yang didului oleh kedatangan pasukan CPM tak membuat gelisah hati pak Engkus.
“ Nak Djasmin, ini ada titipan dari CPM. Katanya dari Kang Ihin ..”, kata pak Engkus setelah acara makan malam berakhir sambil menyodorkan sebuah bungkusan.
Raut wajah Djasmin agak masam dengan kerutan yang sangat kuat. Di depan pak Engkus dan Dullah ia buka bungkusan itu. Sebuah amplop surat dan … pistol beserta peluru. Tak ada kertas di dalam amplop itu selain beberapa lembar uang kertas.
Pak Engkus menyela, “ nak Djasmin jadi ke Jakarta..?”
“ Jadi pak. Kalau diijinkan saya ingin menumpang truk sayur yang akan ke sana”, jawabnya dalam nada lemah.
“Kebetulan. Sejam lagi ada truk yang akan mengantar sayuran dan buah petani ke Pasar Mayestik. Nak Djasmin boleh ikut dan mendampingi sopir. Kata Dullah, nak Djasmin mahir menyetir juga. Kalau tidak lelah boleh bergantian menyetir…”, senyum pak Engkus merekah.
***
Menjelang subuh mereka telah sampai di depan Pasar Mayestik. Beberapa pedagang langganan telah menunggu kedatangan truk itu. Saat akan berpamitan dengan sopir dan mengucap terima kasih, Djasmin dikejutkan lagi dengan perkataan sang sopir.
“ Kang Djasmin… tadi pak Engkus menitipkan sebuah kotak buat akang yang saya taruh di bak belakang. Entah apa isinya, tapi cukup berat. Dan pesan beliau adalah agar saya menyediakan satu kamar buat akang sebelum kembali ke rumah akang di Kampung Bali Matraman. Bahkan, kalau akang mau, ada satu paviliun kecil di samping rumah yang bisa dipakai buat akang. Soal keadaan dan isinya, nanti akang melihat sendiri”, sambil mengajak berjalan menuju warung kopi di seberang jalan.
Sebagai pedagang sayur dan buah yang cukup sukses, pak Engkus memang membeli sebuah rumah tak jauh dari Pasar Mayestik. Kira-kira 10 menit jarak tempuhnya dengan berjalan kaki. Sebelumnya, rumah itu milik istri muda seorang ambtenaar (pegawai pemerintah Hindia Belanda). Menjelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, sang ambtenaar memilih tinggal di negeri Belanda dan hidup di sana bersama istri pertama. Sementara itu, istri muda yang berasal dari Bandung kembali ke tanah kelahiran. Rumah itu dititipkan kepada tetangga yang masih sepupu dengan pak Engkus. Setelah dibeli, pak Engkus memanfaatkan rumah itu sebagai rumah singgah keluarga di Jakarta.
Djasmin menerima tawaran untuk menempati paviliun rumah pak Engkus. Kotak pemberian pak Engkus berisi 3 stel pakaian lengkap dan berbahan mahal, dua stel pakaian petani Sunda, sarung dan perlengkapan shalat serta sebuah Al Qur’an serta beberapa perbekalan hidup seperti beras, gula, kopi, the dan dendeng bumbu kesukaannya. Tanpa terasa ia meneteskan air mata, satu hal yang sangat lama tak terjadi. Djasmin muda membentuk dirinya sebagai manusia keras hati dan kepala. Pantang menyerah, pantang mundur sebelum pertempuran usai, begitu yang sering dikatakan. Beragam rasa: sedih, haru, bahagia, marah dan entah apa lagi berbaur jadi satu. Sikap keras hatinya sering membuat miris orang-orang terdekat. Dan itulah yang membuat dirinya menuju ke Kedutaan Besar Jerman, melamar pekerjaan sebagai sopir.
Sikap dan prestasinya menarik perhatian sang Duta Besar. Suatu siang Djasmin dipanggil ke ruang kerjanya. Bapak Dubes mencecar dengan banyak pertanyaan menyudutkan dan membuka semua “kedok”. Ia mengakui bahwa saat ini tengah menjalani perkuliahan ekstensi di Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik Universitas Indonesia Salemba. Juga kursus dagang di sebuah sekolah Tionghoa tak jauh dari kampus Salemba. Dari semua jawaban, Bapak Dubes kemudian memberitahu bahwa mulai minggu depan ia dipindah-tugaskan di kantor Dubes selaku staf administrasi kepegawaian dan wajib tinggal di mess. Tugasnya sebagai sopir akan digantikan oleh yang lain.
Peristiwa itu tak pernah dilupakan sepanjang hidupnya. Ayah menjadi satu-satunya staf Kedubes yang diberi ijin membawa pistol dan diberi kendaraan dinas sebuah sepeda motor BMW. Tetap diberi kesempatan menjalani proses kehidupan di luar lingkungan formal Kedubes dan jadi pengawal pribadi di luar waktu dinas Dubes. Perubahan besar ini tak mengubah gaya dan karakter ayah yang keras hati dan kepala. Bahkan sering dilibatkan dalam kegiatan intelejen. Pengalaman ini kelak membuat dirinya dipercaya mengelola sebuah perusahaan multi nasional dari lingkungan Pecinan di Semarang.
Setahun sudah ayah menjadi orang sipil, preman di lingkungan terbatas Kedubes Jerman. Beliau diberi hak cuti seminggu dan dimanfaatkan untuk menengok sang ayah yang kini tinggal bersama ibu tiri di Kebumen. Tapi mampir di Bandung, melepas rindu pada kota kembang yang penuh kenangan dan bersilaturahmi dengan keluarga Dullah selama tiga hari. Saat Dullah menikah dan ada undangan untuk itu, Djasmin tak diberi ijin cuti. Juga ketika Dullah berkunjung di rumah sekitar Pasar Mayestik untuk melakukan tugas ayahnya.
Dalam tradisi umum masyarakat komunal suku-suku bangsa yang banyak terdapat di Indonesia, faktor kekerabatan biasanya dijaga kuat. Meski telah menikah dan tinggal di rumah sendiri, Dullah tinggal tak jauh dari orangtua. Ia memang diharapkan dapat menjadi pengganti sang ayah yang petani sayur dan buah serta ajengan bagi komunitasnya. Istrinya adalah noni indo Belanda, anak keturunan pegawai pemerintah Hindia Belanda dan teman sekolah.
Meski hanya berpisah setahun, kerinduan ayah pada sahabat karib dan saudara angkat ini luar biasa. Kangen…. Itulah yang selalu ada di benak ayah sebelum pergi ke Bandung. Begitu juga Dullah. Perbedaan sifat yang seperti bumi dan langit tak memisahkan jarak persaudaraan. Bahkan mengayakan keduanya. Dullah yang pendiam, alim dan sederhana. Sedangkan Djasmin aktif, sektarian dan eksklusif. Rencana Sang Maha Kuasa meleburkan perbedaan itu dan saling menguatkan.
Kerinduan yang begitu dalam di antara dua sahabat karib itu hampir melupakan rencana ayah untuk mengunjungi orang tuanya. Dengan berat hati ayah meninggalkan rumah Dullah menuju stasiun kota Bandung. Setelah berpamitan dengan keluarga pak Engkus, ayah merenung sepanjang perjalanan. Yah.. usianya telah 27, tapi ia masih membujang. Berkali-kali istri dan Dubes menjadikannya sebagai bahan gurauan. Ayah hanya senyum masam menahan rasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H