Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Cerbung] Tangis Seorang Guru Tua (Bagian I)

21 November 2009   15:56 Diperbarui: 27 November 2018   05:31 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu. Atiatoen, berdiri nomor 3 dari kanan. Bersepeda bersama teman-teman setelah pulang dari perantauan (1953).

Seperti biasanya, di rumah besar yang hanya dihuni oleh tiga orang nampak mulai hangat dengan perbincangan pagi. Udara hari itu cukup hangat, diselingi suara merdu burung-burung kecil yang berloncatan di antara pepohonan buah belakang rumah. Kali ini pendidikan yang menjadi bahan pembicaraan. Tiba-tiba, sang ibu mengusap air matanya. " Keterlaluan...sungguh keterlaluan..... ", suara mulai parau. Anak laki-lakinya mengelus punggung ibunda. " Sudahlah bu... jangan memaksakan diri berpikir terlalu jauh. Toh Ibu tak menyumbang kesalahan atas kerusakan dan tragedi  yang tengah dialami oleh masyarakat kita. Bahkan sebaliknya. Pengorbanan Ibu sangat sulit diukur dengan nilai apapun ", kata anak lelakinya.

***

Ilah, panggilan akrab Ibu Pastilah, sejak kecil selalu bergaul dengan penderitaan orang lain. Ia dilahirkan sebagai anak perempuan ke lima dari sebelas bersaudara dua setelah peristiwa yang menandai lahirnya Sumpah Pemuda. Kedua orang tuanya adalah pedagang yang terbilang sukses pada jamannya. Bahkan ayahnya yang juga seorang guru mengaji, selalu memakai mobil dalam menjalankan roda bisnis mesin jahit impornya. Sementara itu, pelanggan utama bisnis beras ibunya adalah para pejabat teras pemerintahan Hindia Belanda dan warga keturunan Tionghoa yang kaya di seantero Kabupaten itu. Meski anak orang yang terbilang kaya, Ilah kecil memilih berteman akrab dengan anak perempuan tetangga yang buta sejak lahir. Sesekali ia ikuti adik bungsunya bwermain dsi kali depan rumah mereka. Sekadar bermain istana pasir. Atau menangkap ikan dengan jala yang terbuat dari daun pisang kering. Penduduk setempat menamakan alat itu gepyok. Tentu saja hanya ikan-ikan kecil yang didapat. Kadang ikut beradu nyali berenang di sungai dalam setelah aliran banjir mulai reda  dengan anak-anak lelaki sepantaran umurnya. Ketika beranjak remaja, Ilah menjadi pemimpin rombongan teman-teman sekolah yang kebanyakan laki-laki.  Hampir setiap pagi ia lakukan hal itu mulai dari pertigaan jalan di samping rumahnya. Sampai di depan halaman sekolah yang letaknya berhadapan dengan alun-alun kota. Karena itu, ia sering berpapasan dengan salah seorang kakak laki-lakinya yang sedang berlatih baris berbaris selaku anggota pasukan PETA.  Mas Achmad memang diijinkan oleh kedua orang tuanya ikut pasukan cadangan bala tentara Jepang itu. Ia juga salah seorang murid Sekolah Menengah Tehnik yang namanya cukup dikenal sampai ke luar Pulau Jawa. Tak heran jika sebagian di antara muridnya berasal dari Kalimantan, Sulawesi, Flores dan Ambon. Perjalanan hidup Ilah remaja banyak dihabiskan di luar rumah. Nampaknya ia ingin mengikuti jejak kakak laki-laki tertua yang saat itu menjadi guru di salah satu kota besar di Sumatera. Begitu menamatkan Sekolah Rakyatnya (sekarang SD), Ilah langsung berangkat sendiri ke Jogjakarta tanpa pendamping pihak keluarganya. Dari teman mas Achmad ia mengantongi sebuah alamat asrama putri tak jauh dari daerah Tugu. Perjalanan dengan kereta api hari itu cukup lancar. Siang hari Ilah sudah berdiri di gerbang asrama. Lalu ia mengetuk pintu kantor yang sdetengah terbuka. " Selamat siang Bu... saya Pastilah. Jika diijinkan, saya ingin menjadi penghuni asrama ini", katanya setelah memberi tanda hormat kepada perempuan tua yang tengah menggoreskan pena bulu di sebuah buku besar. Setelah dipersilakan duduk, Ilah mengeluarkan sebuah tas kulit dan mengambil beberapa lembar kertas. Perempuan tua yang masih tergolong saudara dekat dokter Wahidin Soediro Hoesodo, membaca lembar kertas pertama. Sesaat kemudian ia kembali menggoreskan penanya di buku yang sama. Ada senyum puas yang menggurat wajah perempuan baya ini. "Mengingat perjalananmu jauh, tentu kamu lelah. Mulai hari ini kamu sudah menjadi bagian dari asrama putri. Semua aturan yang berlaku sudah Ibu jelaskan. Apakah kamu mengerti nak Ilah ?", tanya ibu asrama dengan suara lembut. " Saya mengerti dan akan mematuhi segala peraturan asrama ini Bu..", suara Ilah terdengar sangat jelas. "Baik kalau begitu. Mari ikut Ibu. Akan Ibu tunjukkan letak dan teman sekamarmu",.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun