Cita-cita Indonesia merdeka adalah menggapai suasana keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Para pendiri negara menyepakati tujuan itu bagi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.Â
Dan kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah hasil kerja keras, penuh tantangan dan untuk satu hal. Adil dan makmur hidup serta kehidupan warganya. Di sisi ini, kehadiran pejuang keadilan sosial (social justice worrior) adalah suatu keniscayaan.Â
Dalam kondisi lingkungan seburuk apapun, kehadirannya senantiasa diharapkan. Bahkan sangat dinantikan. Namun, dalam suasana kehidupan sosial saat ini yang kian menjauh dari cita-cita awal, masih adakah pejuang sejati yang mendarma-baktikan hidupnya bagi masyarakat banyak ?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita tak perlu menelusur lorong waktu yang terlalu panjang sampai masa penuh nuansa heroisme di jaman penjajahan bangsa asing : Belanda, Inggris maupun Portugis.Â
Juga tentang atribut dan jargon yang melingkupinya. Cukup seperempat abad saja dari sekarang yang satu puncaknya terjadi di pertengahan 1998. Ketika semua orang yang menyintai bangsa dan tumpah darahnya menyatukan kekuatan untuk meluruskan kembali jalan menuju harapan dan cita-cita Indonesia Merdeka.Â
Mendesak parlemen menuntut mundur Jenderal Besar Soeharto turun tahta yang dikuasainya lebih dari tiga dasa warsa. Karena menumbuh-suburkan praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terlepas dari eforia massa yang berlangsung relatif pendek, kurang dari lima tahun, masyarakat Indonesia kembali disuguhi peristiwa dramatis terusirnya Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dari Istana Negara dengan hanya berkaos singlet dan celana kolor.Â
Sebagian diantara kita yang dapat menyaksikan peristiwa itu mungkin bertanya. Inikah tanda awal kembalinya rezim yang akan menumbuh-suburkan bibit penyakit kronis bangsa Indonesia : KKN ?
Diakui atau tidak, Gus Dur adalah sosok kontroversial yang menghilangkan peran orang-orang seperti Harmoko di jaman kekuasaan Orde Baru.Â
Siapa Harmoko dan bagaimana sepak terjangnya selama menjadi tokoh berjuluk hari-hari omong kosong bukan sekadar jargon atau atribut yang disematkan kepada mantan wartawan dan politisi yang kemudian gagal mendirikan partai politiknya.Â
Tokoh ini adalah idiom atau tanda jaman ketika pejuang keadilan sosial sejati dinisbikan. Digantikan dengan peran tokoh-tokoh bermuka banyak yang piawai menjankan politik belah bambu.