Perjalanan hidup manusia acapkali diibaratkan mendaki gunung. Ketika naik menuju puncak, segenap daya diusahakan dapat dicurahkan dengan maksimal. Dari urusan formal melapor keberangkatan kepada pemangku gunung, bekal lahir dan batin serta suasana yang melingkupi perjalanan itu sangat berpengaruh pada kelancaran perjalanan.
Bekal lahir seperti kesiapan fisik dan finansial tentu sangat penting untuk mendukung usaha sebelum memulai perjalanan. Bekal finansial minimal kadangkala tidak menjadi kendala ketika spirit kehidupan terjaga dengan baik. Bonek (bondho nekat, bermodal tekad) jadilah.Â
Menjadi seseorang yang dirindukan kehadirannya oleh orang dewasa yang penuh tipu daya mungkin tidak akan menggantikan rasa kesal, marah dan muak dengan segala basa basinya. Mulai dari alasan yang mengada-ada, terutama yang sifatnya mengasihani diri atau berlagak penting, adalah alasan klasik yang sering muncul ketika dimintakan pertanggung-jawaban pribadi.
Dan yang paling membuat muak adalah alasan lupa karena sebenarnya sedang mengasihani diri. Itulah yang dirasakan saat semua rasa berbaur dan berjalan menuju puncaknya. Tapi, bagaimana jika yang merindukan kehadiran kita adalah anak-anak tak berdosa dan punya cita-cita mulia?
Membina cabang olahraga otak bermedia kartu (contract bridge) yang sangat tidak populer, cenderung eksklusif dan potensial menimbulkan benturan budaya memerlukan energi super ekstra.
Pertama, energi untuk belajar dalam arti luas. Bridge nampak di permukaan seperti permainan kartu biasa seperti remi, minuman (cangkulan), solitaire atau poker. Bagi masyarakat yang secara kebudayaan dapat digolongkan bertipe budaya sub kultur, yang sering saya ganti dengan istilah lokal magel (maju kena, mundur kena) dan cenderung menyukai hal-hal artifisial (yang nampak di permukaan, penampilan), menularkan kebaikan yang dikandung dalam sesuatu yang asing dan  memerlukan energi ekstra untuk memahami seperti olahraga bridge reaksi adalah adalah memberi vonis: judi!
Vonis yang hanya dilihat dari sisi alat utama yang dipakai yaitu kartu. Sementara itu, beragam jenis perjudian mulai dari togel, cap sa, ceken dan lain-lain jenis permainan judi dengan atau tanpa alat utama berupa kartu merajalela di tengah masyarakat.Â
Parahnya, staf Sekretariat KONI yang setiap hari berurusan dengan administrasi keolahragaan di Kabupaten Kebumen misalnya, tak pernah menulis dengan benar ejaan yaitu b-r-i-d-g-e . Bukan brid sebagaimana sering ditulis (kalau tidak diingatkan). Karena dalam bahasa aslinya,English,  bridge berarti jembatan. Sedangkan ejaan lain tidak jelas apa maksudnya.Â
Dari sisi kebahasaan saja cukup jelas, bahwa belajar bridge sedikit banyak juga belajar Bahasa Inggris. Hampir semua rujuan dan bahan-bahan pembelajaran cabang olahraga bridge menggunakan bahasa masyarakat internasional tersebut. Contoh kecil ini menguatkan alasan penggolongan tipe budaya di atas. Dalam olahraga bridge, hal utama yang dijembatani adalah informasi (nilai dan distribusi) kartu serta kondisi psikologis para pemainnya.
Nilai dan distribusi bersumber dari mata pelajaran menghitung (matematika, statistika dan ilmu-ilmu turunannya). Tentu saja harus disertai juga dengan kemampuan membaca dan menulis agar dapat melakukan proses tawar menawar (bidding), permainan (playing) dan penilaian hasil permainan (scoring).