Prestasi pada umumnya adalah suatu bentuk kehormatan, baik kepada pribadi maupun orang banyak. Jika satu seorang, sebuah tim, regu atau rombongan besar mampu membuktikan diri unggul atas yang lain di bidang apapun dalam ajang kompetitif tertentu, ia atau mereka dapat disebut orang yang berprestasi. Â Begitu juga dengan dunia olahraga yang kian pesat perkembangannya dengan pendekatan ilmu dan teknologi keolahragaan. Dunia olahraga modern banyak menghadirkan ajang kompetitif dan dengan frekuensi yang cukup padat di berbagai tingkatan.Â
Ada ajang kompetisi berdasar kecabangan di multi event Pekan Olahraga Daerah (Porda), Nasional (PON), Asean Games (SEA Games), Asian Games dan Olimpiade. Semua ajang itu adalah arena/ajang unjuk prestasi atlet amatir (terutama) yang cabang-cabang kegiatan  pembinaannya dikelola oleh KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) secara berjenjang. Sementara itu, penyelenggaraan kegiatan kompetisi di ajang multi event Nasional dilakukan oleh Komite Olimpiade Indonesia (KOI).  Peran masing-masing lembaga itu ada dalam UU No 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahrgaan Nasional (SKN) dan peraturan pelaksanaannya.  KONI merupakan salah satu Lembaga Non Struktural (LNS) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.Â
Berbeda dari KOI yang secara implisit ada dalam UU SKN, kedudukan KONI memang sempat dipertanyakan. Setidaknya, tentang KONI, MenPANRB menyatakan bahwa lembaga ini tetap diperlukan dan harus ada pembenahan agar keberadaan KONI dan organisasi-organisasi olahraga bisa lebih maksimal dalam rangka pembinaan dan pencapaian organisasi olahraga.  Mungkin hal inilah yang dimaksud oleh Staf Biro Hukum Kemenpora, Yusuf Suparman, tentang perlunya UU No. 3 Tahun 2005 direvisi.Â
Beladiri sebagai Cabang Unggulan
Secara tradisional sejak 1990-an, dua cabang olahraga yakni tinju dan judo menjadi andalan Kabupaten Kebumen. Di dunia tinju, ada nama Dany Yungdoko (Yuyung) bersama sasana Putra Tauladan-nya mengorbitkan banyak nama petinju yang berkiprah secara nasional. Dua bersaudara Jamhur, Willy dan Billy ada di deretan nama petinju amatir yang mengharumkan nama Kebumen. Begitu juga dengan cabang judo yang diasuh Pak Sutarno dan dojo Judowaza-nya. Setelah redup karena dilepas oleh Koh Yuyung dan banyak petinju binaannya pindah keluar kota maupun jalur profesional, cabang olahraga "keras" ini agak redup. Baru bangkit lagi sekitar awal 2000-an yang dipegang oleh pelatih bertangan dingin Marsinus Yosa sampai sekarang.Â
Sementara itu, cabang judo juga mengalami hal serupa pada masa yang hampir bersamaan. Pak Tarno, panggilan akrab pelatih judo yang tinggal di Gombong adalah pelatih bertangan dingin juga. Selain melatih para judoka dari masyarakat umum, beliau juga melatih di Sekolah Calon Tamtama (Secata) yang berada di lingkungan sama. Dari tangan muncul banyak atlet dan pelatih judo semisal Samsudi yang pernah bersama membela kontingen Kabupaten Kebumen pada PORProv Jawa Tengah tahun 2009 di Surakarta. Saya jadi atlet termuda cabang Bridge, sedangkan Samsudi berposisi sebagai pelatih. Di ajang ini, saya mulai mengenal sosok Marsinus Yosa. Beruntung cabang olahraga otak ini tidak ada batasan maksimal umur. Sepanjang mampu secara jasmani dan rohani, atlet bridge hanya berbatas kepikunan. Â Michael Bambang Hartono adalah contoh atlet berusia di atas 70 tahun yang masih aktif bertanding di berbagai turnamen internasional.Â
Citra buruk yang dimunculkan dari kasus koruptif pejabat publik tadi berimbas ke segenap sisi kehidupan masyarakat luas. Masyarakat keolahragaan tidak hanya dikecewakan karena penurunan prestasi. Dana pembinaan yang seharusnya diterima oleh cabang-cabang olahraga yang dikordinasi KONI Kabupaten dialihkan untuk memberangkatkan kontingen ke ajang itu. Bahkan "nada" merasa dihianati. terucap dari pelatih peraih medali emas tunggal, Yongmodo, Â di sela Rapat Anggota Tahunan KONI 2018 lalu. Tali asih memang tengah diproses oleh KONI untuk diajukan kepada Pemkab Kebumen melalui Dinas Porawisata-nya pada tahun 2019 ini. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.
Membina atlet lewat pelatihan dan ajang tertentu jelas sangat memerlukan dukungan dana. Jika yang ada dengan jumlah minimal itu saja harus dialihkan untuk membiayai keberangkatan kontingen, sepanjang tahun 2018 mestinya tidak ada kewajiban untuk membawa nama daerah. Tapi kenyataannya tidak demikian. Para pelatih dengan segenap upaya dan kemampuan internalnya tetap berkomitmen mengantar para atletnya berprestasi maksimal. Merogoh kocek sendiri yang tahun-tahun sebelumnya tak terlalu dalam, akibat ulah pejabat koruptif itu menjadi salah tingkah. Marah adalah sewajarnya. Meski begitu, bagi pelatih yang berkomitmen, kemarahan dikompensasikan dalam beragam bentuk. Melepas atlet potensial atau berprestasi di tingkat provinsi maupun nasional ke daerah lain tidak bisa dihindari. Dari pada tidak berkembang dan mematikan masa depannya.Â