Pemilu 2019 secara formal telah berakhir dengan penetapan calon kontestan jadi anggota legislatif dan Presiden. Mungkin ada beberapa urusan administratif dan seremonial yang masih perlu diselesaikan. Catatan penting dari seluruh prosesinya, Pemilu 2019 bisa disebut pemilu paling dramatis yang pernah diselenggarakan di Indonesia. Bahkan mungkin di dunia. Menewaskan ratusan petugas lapangan dan sejumlah kejadian yang belum pernah ada pada pemilu-pemilu sebelumnya.Â
Sedikit gambaran dari penyelenggara Pemilu 2019 di tingkat desa/kelurahan, saya catat beberapa hal yang sebenarnya telah diketahui oleh publik sejak proses pendataan calon pemilih sampai jadi Daftar Pemilih Tetap yang berulang kali diperbaiki karena beragam alasan. Mulai dari sistem sampai urusan lapangan. Sistem pendataan pemilih oleh KPU kemudian dimunculkan dalam Sidalih (Sistem Data Pemilih). Di sisi ini, antara KPU dan Kemendagri acapkakali berselisih paham baik akurasi maupun metoda penginputan data. Meski telah disepakati bahwa sumber data utama adalah KTP elektronik.Â
Telah jadi rahasia umum, sejak KPK menetapkan beberapa pejabat dalam Kemendagri sebagai tersangka pelaku korupsi KTP el., sistem pendataan penduduk di seluruh Indonesia terganggu. Banyak formulir yang akan menjadi data dasar tidak tersedia ketika diperlukan oleh warga untuk mendapatkannya. Sementara itu, KPU dikejar tengat waktu untuk segera menetapkan data pemilih. Akhirnya, penyelenggara di tingkat paling rendah (Panitia Pemungutan Suara/PPS) desa/kelurahan harus bekerja ekstra keras tanpa hitungan lembur atau mendapatkan renumerasi.Â
Persoalan lain muncul ketika data sementara telah dipublikasikan agar mendapat tanggapan dari masyarakat luas, respon awal biasanya sangat minimal. Artinya, perbaikan data dari sementara menjadi data tetap hanya dilakukan sekadarnya. Saat data tetap (DPT) telah dipublikasikan, beragam tanggapan masuk dan beraneka ragam kepentingan bercampur aduk didalamnya. Protes dari kontestan jelas direspon dan yang sibuk adalah bagian Mutarlih (pemutakhiran data pemilih) PPS. Mereka sering bekerja lembur berhari-hari tanpa dukungan logistik memadai meski telah ditopang oleh seluruh anggota PPS setempat. Apalagi jika ia bekerja sendiri, faktor stresornya sangat tinggi.Â
Setelah semua respon dilakukan atas protes, masukan dan perbaikan, PPS menyelenggarakan rapat pleno yang sedikitnya harus disaksikan oleh Pengawas dan tokoh masyarakat setempat. Secara umum, proses ini relatif lancar karena telah dikomunikasikan. KPU memberikan fasilitasi yang diganti setelah pelaksanaan. Artinya, PPS harus "memodali" agar proses tersebut berjalan sesuai jadwal dan peruntukannya.Â
Dalam Pemilu 2019, penyusunan DPT berlangsung dua kali dan ditambah tiga kali DPTb (Daftar Pemilih Tambahan) yang berasal dari rekapitulasi formulir A5 (pemilih pindah TPS). Di tengah proses ini ada GMHP (Gerakan Melindungi Hak Pemilih) yang intinya adalah seruan agar semua pemilik KTP baik yang sudah ada maupum yang masih dalam proses dapat masuk dalam DPT dan DPTb.Â
Proses penyusunan dua jenis basis data pemilih inilah yang sangat menguras tenaga, pikiran dan perasaan penyelenggara di tingkat terbawah yakni PPS. Apalagi di saat-saat terakhir menjelang hari H pemungutan suara yang situasinya kian memanas. Belum lagi soal logistik dan persoalan teknis penyelenggaraan Pemilu lainnya.Â
Kompleksitas penyelenggaraan pemilu kali ini tidak hanya menyangkut persoalan data pemilih dan teknis pemungutan suara. Di sisi administratif, PPS harus menyelesaikan LPJ (laporan Pertanggung Jawaban)/SPJ (Surat Pertanggung Jawaban) pelaksanaan kegiatan bulanan agar dapat mencairkan dana penyelenggaraan pemilu bulan sebelumnya yang dimodali dari kocek PPS. Dengan honor antara 750 - 900 ribu rupiah, anggota PPS harus melakukan tanggung jawab pekerjaan yang begitu besar bagi keberlangsungan penyelenggaraan Pemilu 2019.Â
Bagi PPS yang telah berpengalaman, cara yang digunakan untuk memodali biaya penyelenggaraan Pemilu 2019 di tingkat desa/kelurahan adalah melakukan penghematan atas dana yang sudah diterima dari KPU tanpa mengurangi kualitas dan kapasitas tugasnya. Tanpa menyisihkan dana yang bersumber dari penghematan itu, sulit sekali melaksanakan proses penyelenggaraan yang tugas-tugasnya acapkali diterima secara mendadak dan harus diselesaikan sangat segera.Â
Jika di luar banyak terjadi "drama" saling sindir dan ejek antar kontestan, PPS cukup memantau dari berbagai media dan berkordinasi dengan Pengawas Desa/Kelurahan. Boleh jadi, cara ini yang dituduhkan kontestan sebagai "persekongkolan". Ada cerita menarik tentang kolaborasi antara PPS dan PPD/K yang berujung dengan munculnya istilah "jor-joan".Â
Sebenarnya tidak begitu. Masing-masing berkomitmen menjaga tugas, wewenang dan tanggung jawabnya. Hanya ketika diperlukan kordinasi seperti contoh di atas, ada langkah awal yang dilakukan untuk tujuan efektivitas dan efisiensi. Penyelenggara berusaha memenuhi porsinya, demikian pula dengan Pengawas. Tidak lebih dan tidak kurang.