Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Restrukturisasi TNI, Disorientasi Fungsional atau Kegagalan Sistem?

17 Februari 2019   06:58 Diperbarui: 17 Februari 2019   07:12 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar yang menyeruak dari pernyataan Presiden Jokowi tentang keinginannya merestrukturisasi TNI mengundang sejumlah pertanyaan besar. Jika dilakukan sebelum Pemilu serentak 2019, ada kecurigaan dari para pegiat gerakan masyarakat sipil bahwa Jokowi berpotensi membuat blunder di ruang-ruang publik kian memanas seiring memanasnya suhu politik. 

Namun, jika setelah Pemilu dilaksanakan, ada urgensi apakah selain menjawab "kegelisahan" Panglima TNI atas kelebihan kapasitas jabatan bagi sejumlah perwira tinggi di dalam lingkungan militer itu? 

Selama ini, masyarakat mengenal militer sebagai jago strategi. Karena kemampuan perencanaan secara rinci dan terukur dari setiap kegiatan yang dilakukan. Kurang lebih seperti itu gambaran umum tentang kehandalan prajurit TNI dari semua matra. Darat, laut maupun Udara. 

Apalagi ditunjang dengan keberadaan akademi di setiap matranya. Dan penyumbang terbesar keberadaan perwira tinggi berasal dari sumber itu kemudian dikuatkan dalam Sesko serta jalur pendidikan lainnya. 

Secara matematis, rata-rata karir prajurit TNI setelah lulus dari akademi kemiliteran  dan melewati masa "wajib orientasi" sampai jadi perwira tinggi dengan pangkat kolonel ke atas perlu waktu sedikitnya sekitar 12 tahun. 

Dengan asumsi bahwa para kadet masuk akademi pada rata-rata usia 17 ditambah 3 tahun di akademi dan 2 tahun masa orientasi, maka karir profesional seorang prajurit TNI sebagai perwira tinggi berpangkat kolonel adalah 34 tahun. 

Prabowo Subianto Djojohadikusumo adalah satu contoh yang mampu meraihnya. Kecemerlangan karir militer Prabowo disebabkan oleh faktor kroni sebagai menantu Presiden Suharto. Sehingga, pada usia 34, ia telah berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen). Konon seperti itu cerita yang berkembang di   kala itu. 

Tidak banyak prajurit TNI yang seberuntung Prabowo Subianto yang pada usia relatif muda telah mencapai pangkat jenderal. Itu yang berada di matra darat setelah lebih dari setengah abad mendominasi matra laut dan udara. Banyak pengamat militer memandang realitas ini tidak sesuai dengan kondisi riil geografis Indonesia yang dikepung laut dan samudera raya. 

Semestinya, Indonesia yang negara maritim memiliki Angkatan Laut yang lebih kuat dan handal dalam mewujudkan fungsi dasarnya sebagai penjaga kedaulatan negara baik dari luar maupun dalam. Mencermati kasus penyanderaan pelaut di Laut Sulu oleh perompak Filipina entah dari kubu manapun. 

Atau kapal patroli bea cukai yang diserang para penyelundup dari Malaysia dengan memanfaatkan kapal-kapal tradisional berbendera Indonesia. Juga kasus penyelundupan narkoba di berbagai tempat dengan cara-cara yang kian nekad lewat  celah perairan Indonesia karena kalah sarana. 

Yang cukup popular tentu kebijakan Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan dan sumberdaya kelautan lainnya. 

Menurut  tirto.id Hadi mengatakan saat ini ada surplus sekitar 500 perwira tinggi. Jika terserap ke kementerian/lembaga, ia berharap ada 150 hingga 200 perwira tinggi yang tak lagi non-job. Mengapa sampai terjadi kondisi itu? Seperti biasa, anggota DPR Fahri Hamzah menyalahkan pemerintah yang dinilai tak mampu membuat sibuk TNI. Jika sibuk, para tentara tak akan mengalami disorientasi. 

Jika ini terjadi, siapa yang paling bertanggung jawab? Pemerintah kah seperti tuduhan Fahri ? Atau kalangan internal TNI yang gagal membuat rencana strategis pembangunan sumber daya manusianya? 

Tentara aktif masuk ranah sipil selain menumbuhkan kegelisahan lama dalam wajah baru pasca reformasi. Masih banyak orang yang belum mampu menghilangkan jejak ketakutan akan kehadiran Kopkamtib yang diduga ada di belakang operasi Petrus (penembak misterius), sejumlah ormas pemuda yang (seolah) berlindung di bawah kesatuan atau tokoh yang  berkesan berandalan. 

Serta pengenaan sebutan "Ndan " atau posko untuk menandai pengaruh seseorang dan tempat tertentu. Bagi orang tertentu, mengganti sebutan ketua atau tokoh berpengaruh dengan komandan (Ndan) mungkin dianggap hal biasa yang tak pernah dirisaukan. 

Tapi tidak bagi yang lainnya. Kultur militer yang (masih) melekat pada kalangan sipil acapkali menimbulkan "kesan khusus". Tentu tidak semua bersikap seperti itu.

Menjadi militer, baik tentara maupun polisi adalah pilihan pribadi dengan konsekuensi kehilangan sementara hak-hak sipilnya sepanjang masa aktif (belum purna, berhenti atau diberhentikan). Wajar jika seseorang yang telah mengikatkan diri sebagai TNI maupun Polri sepantasnya menjaga kehormatan diri untuk setia di jalur karir yang telah dipilih. 

Di sisi ini kualitas dan kapasitasnya sebagai profesional terukur. Pengecualian hanya berlaku dalam situasi darurat perang khususnya.  Bila hal ini dilanggar, saya sangat risau dengan ungkapan " apa kata dunia?". 

Kembali ke soal surplus perwira tinggi yang akan "dikarya-sipilkan" , satu pertanyaan yang senantiasa mengganggu benak ini adalah "apakah militer telah kehilangan sentuhan khas-nya sebagai ahli strategi..?" dan handal dalam bertahan hidup (survival)..?? Jika jawaban pentingnya : tidak, mengapa sampai terjadi surplus yang begitu banyak dan memintas jalan di jalur sipil? 

Dengan kata lain, apakah hal itu mencerminkan realitas yang sesungguhnya terjadi? Jika jawaban pastinya: ya, kerisauan tadi terbukti kuat. Sehingga patut diajukan pertanyaan lanjutan, apakah hal itu menjadi bukti kegagalan sistem rekrutmen prajurit karir pada jalur utama di akademi dan atau sesko ? Atau ada hal lain yang tersembunyi?

Tentara sekarang bukan seperti di jaman perang kemerdekaan yag multi talenta dan bersikap bak "jagoan" karena situasi saat itu memang memaksa harus demikian. Kemajuan teknologi mestinya telah diantisipasi jauh sebelum muncul di ruang-ruang publik.

Banyak produk teknologi yang masuk ke pasar berawal dari hasil riset dan pengembangan di fasilitas atau laboratorium militer. Produk teknologi yang ada di ranah sipil biasanya tertinggal satu dua langkah di belakang militer. 

Mungkin hanya hacker kelas wahid yang mampu menyamai atau sedikit mengungguli sebelum akhirnya "dikaryakan" di ranah militer. Karena fungsi utama tentara adalah menjaga kedaulatan negara. 

Referensi tambahan: Satu , Dua , Tiga , Empat 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun