Ibu itu biyung atau biang kata orang Betawi. Pokok dari segala hal. Dari rahimnya kita hidup dan belajar tentang kehidupan. Sekitar sembilan bulan dan sepuluh hari proses di gua garba itu berlangsung. Saat tangis pertama, itulah tanda diri kehadiran kita dalam menjalani kehidupan di alam terang.Â
Selama beberapa saat, mungkin dua tahun, kita dalam dekap erat pelukan lembut sang ibu. Entah berapa kali menyakitinya saat menyusu, ngompol dan buang air besar. Atau bila tubuh ini berasa panas tinggi atau menggigil kedinginan. Itu cerita masa kecil yang biasa terjadi dan dialami oleh kaum ibu.Â
Pahlawan itu manusia biasa yang banyak berbuat kebajikan bagi orang lain dan konsisten menjaganya di segala keadaan. Terutama saat tidak menyenangkan. Pahala yang sejatinya memang hak mutlak Sang Maha Pencipta, pemberi kehidupan. Tetapi, berbuat kebajikan adalah pilihan sikap kemanusiaan yang mengarah pada kemurahan Sang Pemberi kehidupan. Begitu juga dengan konsistensi memelihara sikap itu.Â
Banyak orang yang mampu berbuat kebajikan dengan segala motivasinya. Menjadi relawan kemanusiaan di medan bencana atau yang paling sederhana adalah memberi pertolongan saat dibutuhkan. Pahlawan itu penghormatan, menghargai kadar "nilai keikhlasan " atau kesukarelaan menolong dalam situasi tertentu. Terutama ketika banyak orang tak mau dan atau tak mampu melakukannya.Â
***
Lahir sebagai anak ke 10 dari 11 bersaudara dari Mochammad Djadjuli dan Siti Chotidjah, Atiatoen kecil lebih suka bermain dengan saudara sepupu yang tuna netra. Meski terbilang mampu, ia tak ingin menikmati fasilitas orang tuanya yang pedagang mesin jahit bermerek Jerman sebelum kedatangan pasukan Jepang menjajah tanah air.Â
Ia justru memilih ikut mengantar dagangan beras ibu kandung ke konsumen yang kebanyakan orang penting di kota kelahirannya, Kebumen. Selain Kanjeng Bupati, beberapa pemilik toko besar dan pendeta gereja Jawa adalah pelanggan tetap beras dagangan Ibunya. Dengan keluarga pendeta Reksodihardjo, Atiatoen kecil diperlakukan seperti anaknya. Tak heran jika beliau sangat akrab dengan seorang anak lelaki Pak Pendeta, Agustinus.Â
Saat masih belajar di Sekolah Rakyat yang setingkat SD sekarang, hampir setiap pagi memimpin sekelompok kecil teman satu sekolah yang kebanyakan laki-laki. Dari pertigaan gang, mereka setia saling menunggu. Jika ada yang tak hadir, Atiatoen selalu menanyakan kepada teman yang terdekat. Iapun siap menyampaikan berita ketidak-hadiran kepada guru atau kepala sekolah. Anak-anak Pasarpari sangat paham dengan sikap dan kepemimpinannya.Â
Setelah taman SR di tahun 1943, ia bersikeras melanjutkan studi di SGP (Sekolah Guru Putri) di Jalan Jati, Sagan Yogyakarta. Kala itu, ia telah jadi piatu. Ibu kandungnya wafat di tahun 1939. Ia memang bercita-cita jadi guru. Atas sikapnya yang tegas, sang ayah tak mampu mencegahnya. Iapun berangkat sendirian ke Jogja dengan kereta api. Di sekolah itu ia tinggal di asrama.
Beliau senantiasa memilih jalannya. Tetap lurus dan mata menatap ke depan. Tak pernah bergeming dengan pujian, tak goyah pada cemooh dan fitnah. Hadapi semua masalah dengan dada tegak dan sikap sempurna. Jangan pernah takut berselisih jalan di tengah keramaian. Keheningan malam adalah cermin bening. Karena keyakinan diri bahwa buruk muka cermin dibelah hanya untuk yang jauh dari keikhlasan dunia dan akhirat.
Mohon maaf Ibu, aku telah membohongimu dengan menceritakan kisahmu.Â