Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mampukah KKI Menjawab Tantangan Jaman?

2 November 2018   03:53 Diperbarui: 5 November 2018   09:43 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Congklak atau Dakon adalah permainan tradisional yang melatih kemampuan menghitung dan taktikal. Dokpri

Congklak atau Dakon adalah permainan tradisional yang melatih kemampuan menghitung dan taktikal. Dokpri
Congklak atau Dakon adalah permainan tradisional yang melatih kemampuan menghitung dan taktikal. Dokpri
Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) rencananya akan diselenggarakan pada 16-18 November 2018. KKI 2018 ini terbilang istimewa karena bertepatan seabad dari yang pertama. Dilaksanakan dalam suasana peringatan bulan bahasa dan sastra serta kepahlawanan arek-arek Suroboyo saat mengusir penjajah. Tetapi ada yang lebih istimewa yaitu menjadi momen penting penyusunan dokumen Strategi Kebudayaan Nasional sebagai landasan untuk pembangunan Indonesia 20 tahun ke depan yang akan dikoreksi setiap lima tahun. Tugas mulia mengemban amanah UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Pada laman ini , kita dapat melihat Strategi Kebudayaan harus diwujudkan, bukan hanya diwacanakan sebagaimana yang terjadi selama ini. Diusahakan secara bertingkat, dari penyusunan PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah) Kabupaten/Kota terus ke Provinsi dan Nasional sebagai dokumen Strategi Kebudayaan. Cuplikannya:

KKI 2018 merupakan puncak dari proses perencanaan secara berjenjang yang diawali dengan penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Hasil KKI 2018 adalah Strategi Kebudayaan: dokumen perencanaan pemajuan kebudayaan nasional

Kebudayaan adalah cermin keseharian masyarakat, tentang masa lalu dan atau masa depan. Dari tradisi lisan, permainan, teknologi, catatan, adat istiadat dan berbagai sisi masa silam. Baik yang terekam pada jejak-jejak peradaban, mitologi yang teraktualisasi atau tradisi turun temurun yang mungkin tak terabadikan serta sisi-sisi unik lainnya. Budaya bisa seluas samudera, atau sebutir debu kehidupan. Indonesia kaya akan hal ini. Itulah abstraksi yang mengawali perbincangan seputar Kongres Kebudayaan dari waktu ke waktu. Tetapi yang paling hakiki adalah pernyataan keprihatinan Presiden Jokowi soal perimbangan laju pembangunan fisik yang tidak selaras dengan yang non fisik. Utamanya tentang Pemajuan Kebudayaan. 

Memang benar bahwa Indonesia bukan hanya Jawa, Sunda, Betawi, Madura, Batak, Padang dan suku-suku besar lainnya. Papua yang sangat luas, punya banyak suku selain Asmat, Dani dan sebagainya. Setiap suku punya cermin kehidupan yang khas. Bahasa lokal, cara pandang dan jejak peradaban yang beraneka ragam. Dan Papua adalah Indonesia kecil di ujung Timur yang acapkali dipandang sebelah mata. Belum soal Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan banyak tempat lainnya yang ada di daratan maupun lautan atau kepulauan. 

Memetakan budaya Indonesia kaya tak cukup dengan teknologi penginderaan jauh dengan satelit secanggih apapun. Juga tidak dengan menurunkan tangan besi atau mencari jawaban rancu dari suatu kegelisahan . Banyak hal yang tak mampu dijawab dengan akal sehat di atas kertas sarasehan, seminar atau konferensi apapun dan di tingkat manapun. Budaya memang melekat pada pendidikan. Tapi tidak semua hal tercakup di dalamnya. Apalagi jika sekadar mengejar tengat waktu. Tradisi literasi kita belum sekuat lisan atau bahasa qolbu para guru bangsa. 

Banyak kesenjangan budaya yang harus dijembatani dengan kerendahan hati dan keluhuran budi pekerti. Almarhum Romo Mangun, Gus Dur dan Cak Nur misalnya belum terwakili oleh para penerusnya. Apalagi "menjinakkan" orang-orang mbeling semisal Cak Nun atau Sujiwo Tedjo dan lainnya yang telah berbicara dengan bahasa jiwa. 

Tanpa bermaksud mengecilkan usaha keras Dirjen Kebudayaan Kemendikbud yang memrakarsai perhelatan akbar KKI. Tidak juga meremehkan kegelisahan Presiden Jokowi. Atau mencurigai kinerja para penggagas Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Semua usaha dan prakarsa yang mengiringinya tetap perlu diapresiasi sepantasnya. Tetapi ada satu peribahasa yang membayangi benak manusia bodoh ini. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Strategi sesuai sifatnya tentang masa depan dan kebudayaan sebagai cermin diri manusia beradab sangat perlu didokumentasikan. KKI sebagai forum musyawarah nasional para pemangku kepentingan akan dihadiri orang-orang hebat di bidangnya. Tentu ini sebuah momentum yang tidak boleh disia-siakan oleh seluruh masyarakat Indonesia di manapun dan untuk hal apapun. 

Selamat berkongres, semoga kebijakan dan kemaslahatan untuk Indonesia Emas muncul di sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun