Kereta api yang akan membawa rombongan kami terlambat lebih dari lima jam. Tak ada satupun yang dapat menjelaskan alasannya. Wajah-wajah gelisah tampak di raut muka mereka. Ada yang sangat lusuh, terkantuk-kantuk, terlelap tidur atau bersenda gurau. Sebagian kecil menimang senjata yang baru didapatkan pagi tadi.Â
Para perempuan sibuk menyiapkan makan siang. Di sekitar stasiun deru mobil pembawa pasukan dan perbekalan sesekali memecah kesunyian. Di dekat ruang pengatur perjalanan kereta api, beberapa komandan pasukan tengah berbincang serius. Mungkin soal strategi atau perintah Markas Pusat. Sebagian besar kekuatan pasukan Pelajar akan diperbantukan kepada pasukan reguler di medan laga yang asing namanya.Â
*****
Aku ikut rombongan pelajar campuran. Ada yang dari Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Maluku. Di dekatku, ada seorang berperawakan tinggi besar dan berkulit bersih. Matanya agak sipit seperti keturunan Tionghoa. Ia nampak pendiam dan lebih suka baca buku.Â
" Mas...dari kesatuan mana?", tanyaku sembari ulurkan tangan perkenalan.Â
" Saya Linus, dari Kalimantan. Ikut pasukan Perpis ", jawabnya singkat tanpa ekspresi. Datar dan dingin.
" Ohh ya. Saya Joko dari Markas Pusat".Â
Sejenak ada perubahan raut wajah Linus. Ia tersenyum dan menganggukkan kepala. Mungin ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
Sementara itu, beberapa orang disekitarku ramai bersenda gurau dengan bahasa dan logat yang asing di telingaku. Rata-rata berpostur lebih kecil dari diriku. Warna kulitnya lebih gelap dan bertubuh sedikit kerempeng. Aku tak ingin mengganggu mereka. Tapi Linus nampaknya melihat gelagatku.
" Mereka orang Makassar mas. Kebanyakan kerabat Maulwi, komandan pasukan kami", Linus menyela.Â
Gantian saya yang manggut-manggut. Heran bercampur kagum. Begitu dahsyatnya kecintaan mereka untuk ikut berjuang memerdekakan diri dari penjajahan asing. Entah berapa banyak anggota mereka. Â Anganku melambung jauh, membelah langit dan lautan. Seperti apa beratnya perjalanan mereka dari bumi Selebes ke tanah Jawa? Entah berapa lama angan itu melintas, tahu-tahu saya tinggal sendirian di gerbong. Yang lain nampak berbincang, menyanyi lagu-lagu asing. Terdengar suara berat memanggilku.Â