Tulisan ini terinspirasi dari pakar olahraga bridge yang rendah hati dan rewang cerdas. Keduanya saya kagumi karena lebih banyak mengungkap sisi positif (nilai manfaat) dari kegiatan yang mereka lakukan di tengah kecenderungan umum mengekploitasi sisi negatif dalam keseharian kita sebagai umat manusia dan warga Bangsa Indonesia. Pencerahan itu intinya. Partnership kurang lebih setara dengan makna kesetia-kawanan. Dalam pekerjaan, kehidupan sosial atau olahraga berpasangan seperti bridge, memelihara partnership intinya menjunjung tinggi etika, menghormati lawan dan menghargai kawan serta tidak menggunakan cara atau tindakan yang tidak pernah disepakati bersama. Tujuan utama partnership adalah hasil akhir maksimal. Kawan, mitra kerja, tetanggga atau pasangan adalah senyawa. Dan ini mudah ditangkap dari arti seorang istri dalam masyarakat Jawa yang sering disebut garwa (sigaring nyawa) atau belahan jiwa. Kondisi sosial masyarakat Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan umum kehilangan sense of partnership. Tradisi gotong-royong yang menjadi satu faktor kunci Bangsa Indonesia meraih kemenangan dari kaum penjajah berupa kemerdekaan seolah-olah "hanya" sebuah memori sosial atau jadul, gak trendy dan sebagainya yang layak dikenang sesekali waktu saja, dalam buku pelajaran sekolah atau ketika sedang memperingati peristiwa bersejarah tertentu. Solidaritas sosial yang banyak muncul ke permukaan justru cenderung berdampak negatif dalam bentuk kerusuhan massa, semangat korsa yang berlebih dan lain-lain. Sense of partnership pada dasarnya adalah upaya manusia memaksimalkan daya hidupnya sebagai mahluk sosial. Sehebat apapun kemampuan seseorang, ia atau mereka tetap memerlukan keterlibatan orang lain. Proses ini akan berimbang jika kedua pihak saling mengerti, memahami dan menghargai sederajat. Faktor kesederajatan inilah yang akhir-akhir ini sering dilupakan atau disalah-artikan karena ada penonjolan rasa superioritas  diri yang berlebih. Budayawan Bambang Oeban menengara kecenderungan ini sebagai Raflesian Syndrome sebagaimana diungkapkan dalam satu sajaknya Tembang negeri jajahan di sini. Tradisi gotong royong yang secara teknis manajerial disebut partnership adalah ekspresi daya hidup sosial di semua lingkungan masyarakat. Baik yang modern, apalagi dalam lingkungan masyarakat tradisional. Bentuk dan caranya bisa  berbeda. Tapi prinsipnya sama: saling memahami dan menghormati sebagai manusia berderajat sama. Hukum positif di Indonesia mengadopsi hal ini. Meski dalam praktik sering berbeda karena membohongi "rasa". Jadi, mengapa kita harus mengimpor nilai solidaritas sosial yang sebenarnya telah ada di lingkungan sekitar? Kan lebih baik memaknai dan mengapresiasi pada sisi positifnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H