Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru Mogok, Siapa yang Salah - Bagian Doea

28 Maret 2014   13:31 Diperbarui: 20 Oktober 2018   04:05 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto reuni istri di MI Al Qodir Wage Taman Sidoarjo Jatim. Dokpri


Dunia pendidikan di Indonesia kembali diuji. Kali ini datang dari lingkungan internal yang memutuskan bahwa Kurikulum 2013 tak lagi memasukkan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi di dalamnya. Alasan yang sering dikemukakan para petinggi Kemendikbud karena TIK integratif, dapat dipadukan dengan semua mata pelajaran. Sementara itu, dasar yang digunakan sangat mengambang.

 

Ada yang menarik dari upaya para guru mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk jalur pendidikan umum serta Ketrampilan Komputer dan Pengolahan Informasi (KKPI) bagi sekolah kejuruan/SMK yang mempertanyakan alasan hilangnya mata pelajaran itu dalam Kurikulum 2013 yang kini tengah diujicobakan di berbagai wilayah di tanah air. Penelusuran pertama tentu dari sumber informasi sekunder. Jika kita pernah menanda-tangani satu petisi di www.change.org/, setiap ada petisi baru akan muncul dalam kotak masuk e mail berupa pemberitahuan. Ada dua petisi serupa. Pertama, diajukan oleh Sekretaris jenderal Asosiasi Guru TIK dan KKPI Nasional atas nama Wijaya Kusumah. Yang kedua berasal dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran atau MGMP TIK Kalimantan Timur.

 

Bila kita cermati posting dan komentar para anggota Asosiasi Guru TIK dan KKPI Nasional di jejaring sosial facebook , banyak sisi yang selama ini sering hanya muncul sebagai bahan perbincangan di bawah permukaan alias bisik-bisik, menjadi begitu terang dan gamblang. Bahwa, banyak guru dan kepala sekolah yang berijasah Strata 2 (S2) dan tengah menempuh Strata (3) diragukan kemampuan pribadinya dalam menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jangankan internet yang sekarang tengah mengalami fase perkembangan luar biasa karena kehadiran telepon selular canggih (android dan sejenisnya) sehingga informasi mengalir seolah tanpa batas waktu dan ruang dengan beragam isi dan aplikasinya. Untuk menghidupkan komputer saja banyak yang mengalami kesulitan. Apalagi menggunakan aplikasi yang ada di dalamnya.

 

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), nampaknya telah berbulat hati untuk melanjutkan keinginan menerapkan Kurikulum 2013 tanpa kehadiran mata pelajaran TIK dan KKPI. Dari acara perbincangan langsung (talkshow)  antara Direktur SMA Kemendikbud, Harris Iskandar dan Wijaya Kusumah yang mewakili AGTIKKNAS di Berita Satu TV jelas terlihat kekukuhan sikapnya meski tekah diingatkan bahwa dampak pemberlakuan Kurikulum 2013 tanpa TIK akan bukan mengantar generasi muda Indonesia menjadi generasi emas di tahun 2045 atau seabad usia Proklamasi Kemerdekaan RI. Justru sebaliknya, membuatnya menjadi generasi yang cemas dan lemas.

 

Dalam satu tulisan yang dimuat di situs resmi Kemendikbud, Harris Iskandar menjelaskan dengan begitu menyakinkan. Bekal mencari kerja di abad 21 bukan lagi kemampuan baca, tulis dan hitung yang disingkatnya dengan istilah calistung. Tapi harus berbekal pula dengan kemampuan TIK. Pada selang waktu tak begitu jauh (06 Januari 2014) dan 17 Maret 2014, jutaan orang menjadi saksi betapa pongahnya pejabat setingkat Direktur di Kemendikbud itu. Banyak pertanyaan mendasar yang tak mampu dijawabnya, selain selalu berkelit bahwa guru TIK tak dirugikan dengan kehadiran Kurikulum 2013 dan anak saya (sambil menujuk Wijaya Kusumah sebagai gurunya di Lab School Jakarta) tanpa dibimbing sudah bisa mengunduh dari internet. Arahnya menjadi sangat jelas, bahwa Kurikulum 2013 adalah sebuah proyek di akhir masa jabatan Kemendikbud pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Bukan merupakan program seperti yang didengungkan dengan memberi sebutan generasi emas.

 

Seorang anggota grup Fb Agttiknas, Lucky Mamusung, membuat sebuah status yang sangat menyentuh (jika para pembacanya masih punya nurani). Penggalan dalam beberapa alinea terakhir adalah sebagai berikut:

  • Anak saya sudah bisa mendownload di komputer saya, tapi yang didownload itu tanpa disadarinya adalah malware dan trojan. Sehingga merusak browser, bahkan mengambil alih desktop saya. Saya harus install ulang sistem saya, kehilangan banyak data-data penting di pekerjaan dan waktu untuk memperbaikinya.
  • Anak saya meringkuk merasa sangat bersalah atas ketidaktahuan yang dilakukannya. Membuat saya mengeluh dalam hati, mengapa sekolah tidak mengajarkan tentang etika browsing dan keamanan data pada anak saya? Andai sekolah mengajarkan TIK padanya, tentu kerugian materil seperti ini bisa dihindari...
  • Menarik napas yang menyesakan dada... bertanya-tanya...
  • Mengapa pendidikan negara ini berjalan mundur?

 

Satu pertanyaan wajar dan sangat mendasar. Pada tulisan berjudul Mengembalikan Citra Pendidikan Indonesia , Ari Saputra menyebut 3 penyakit utama dalam manajemen pendidikan nasional :

  1. Tidak percaya diri. Bukti : kebiasaan menyontek dan copas (copy paste).
  2. Mengagungkan ijasah. Memberi harga lebih pada nilai formal ijasah ketimbang isinya. Hal ini menyebabkan orang cenderung pragmatis dan kapitalis.
  3. Ketidak-merataan sebaran informasi, sarana dan prasarana pendidikan.

Masalah pendidikan di Indonesia sudah seperti benang kusut yang sangat sulit diurai. Sementara itu, di belahan dunia lain justru berani melakukan perubahan mendasar dan karenanya terus berjalan maju. Kurikulum hanya sebuah alat, bukan roh yang menandai hidup matinya manusia. Bersikukuh dengan membiarkan kekeliruan terus berlangsung bukan hanya menghilangkan kesempatan bangkit dari tidur panjang alam feodalisme yang berlaku selama ini. Ini sama artinya dengan penjajahan berselubung formalitas karena membunuh karakter manusia Indonesia yang merdeka dan bermartabat.

 


Meski begitu, di tengah galau, cemas dan lemasnya keyakinan para guru TIK/KKPI atas penerapan Kurikulum 2013 yang tidak saja mengeliminasi mata pelajaran TIK/KKPI dinilai syarat muatan yang tak jelas dasar pemikirannya, ada selipan cerita yang membuat senyum dan hati ini berbunga. Seorang mahasiswi di Makassar berani beradu argumentasi ilmiah dalam mempertahankan skripsinya dengan profesor dan penguji lainnya. Tak hanya ujian materi kuliah yang biasanya jadi beban tersendiri, tapi yang sangat mengagumkan dari kandidat adalah keberanian melakukan sikap berbeda dari kebanyakan dan mempertahankannya dalam kondisi apapun. Predikat cum laude yang diterimanya saat itu jauh lebih bernilai ketimbang suma cum laude yang diperoleh dengan cara culas: membeli ! Terlepas dari benar tidaknya cerita mahasiswi tadi, pesan yang ingin disampaikan sangat jelas. Bahwa budaya akademik harus dihidupkan lagi. Jika ini terjadi, satu penyakit kronis masyarakat kita yang begitu mengagungkan ijasah sebagai tanda kecakapan akademik akan terkikis dengan sendirinya.  

 


Pendidikan bukan sekadar kegiatan belajar dan mengajar formal dan rutin. Apalagi jika dilandasi pemikiran bahwa pendidikan di sekolah akan membawa perubahan besar jika seluruh tatanan kehidupan di masyarakat tidak mengikutinya. Porsi lembaga pendidikan adalah mengarahkan, bukan mendasari. Faktor fundamental pendidikan modern adalah keluarga, baru lembaga pendidikan yang mengarahkan fungsi-fungsi literasi (kemampuan baca dan tulis), matematika (hitung)  dan pemecahan masalah yang kini banyak dimudahkan dengan kehadiran TIK. Karena itu, ketika ia harus berkecimpung dalam masyarakat tidak akan mengalami kesulitan beradaptasi. Tak perlu gagal faham seperti yang terjadi dalam dialog antara Wijaya Kusumah dan Harris Iskandar saat membahas masalah eliminasi mata pelajaran TIK dalam Kurikulum 2013 di Berita Satu TV di atas.

 


Juga tak ada pertanyaan seperti dilontarkan Lucky Mamusung. Dunia pendidikan semestinya sangat dinamis dan maju mundurnya bergantung pada sistem tata nilai sosial yang berlaku di lingkungannya. Jika ketiga penyakit utama dunia pendidikan di tanah air tak ditangani serempak dan bersinambung, bukan hanya akan kehilangan peluang menggapai harap agar ketika usia kemerdekaan seabad, Bangsa Indonesia akan memilliki generasi emas sebagaimana dicitakan dalam Kurikulum 2013.  Yang terjadi adalah suatu generasi yang cemas dan lemas seperti ditegaskan oleh Wijaya Kusumah.

 

Kita sering mengutuk praktik KKN sebagai biang keladi rusaknya tatanan masyarakat, tapi copas dan nyontek jalan terus. Bagaimana rasa percaya diri akan tumbuh dan berkembang sebagai daya hidup manusia merdeka jika tidak pernah berusaha melepas ketergantungan dari orang lain dan membangun kekuatan diri yang sebenarnya kita miliki. Sepanjang kita masih mengunggulkan bentuk dari pada isi, jangan pernah bermimpi akan mampu menjadi bangsa yang maju dan lebih beradab.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun