Sebagai seorang pendatang yang ikut mengais rejeki demi mempertahankan kelangsungan hidup, sudah barang tempat bermukim menjadi sebuah kebutuhan yang utama.Â
Sebenarnya, berteduh untuk melepas penat dan mengistirahatkan anggota tubuh merupakan sebuah kebutuhan bagi setiap insan manusia. Artinya, siapapun orangnya baik berdomisili di tempat dilahirkan maupun tempat perantauan, tempat hunian merupakan sebuah kebutuhan mutlak baik yang sifatnya hanya menggunakan (sewa) maupun yang sifatnya kepemilikan.Â
Bagi seorang perantau seperti saya, tempat hunian yang paling gampang diperoleh adalah kompleks perumahan, apalagi saat ini ada program pemerintah rumah Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi disamping banyaknya perusahaan jasa keuangan yang memberikan kemudahan meminjam uang untuk memiliki rumah. Kondisi ini tentu mendorong semua orang khususnya para perantau untuk mengambil pilihan ini.
Perumahan adalah sekelompok rumah atau bangunan lain yang dibangun secara bersamaan dengan model penampilan yang relatif seragam serta dilengkapi dengan fasilitas umum.Â
Beberapa pertimbangan yang biasanya dijadikan alasan kenapa perantau/pendatang lebih memilihi tinggal di komplek perumahan antara lain: memiliki status yang relatif sama, cenderung individual sehingga tidak terganggu oleh tetangga, Â lebih leluasa (artinya aktifitas kita tidak begitu diperhatikan tetangga), dan lain-lain.Â
Inilah yang biasanya menjadi benih awal munculnya budaya individualistik di sebagian besar komplek perumahan, sehingga tidak jarang dijumpai komplek perumahan yang secara geografis berdekatan dengan kampung tetapi tidak begitu menyatu secara budaya.Â
Bila dibiarkan secara terus menerus, maka akan terjadi sekat dinding yang tebal dan tidak bisa ditembus antara warga komplek perumahan dengan warga kampung sekitar, bahkan bisa jadi akan merembet antar warga komplek perumahan itu sendiri.Â
Beberapa kasus konflik horisontal yang pernah terjadi, berawal dari terjadinya sekat budaya yang tidak pernah bertemu dan bersatu, oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk mempertahankan nilai-nilai luhur para pendahulu kita ditengah arus hegemoni teknologi yang telah merasuk disemua lini kehidupan kita. Â Â
Sebagai makhluk sosial, bagaimanapun juga penghuni kompleks perumahan tetap membutuhkan interaksi antara yang satu dengan yang lain meskipun tingkat intensitasnya berbeda-beda.
Oleh karena itu karakter bawaan ini perlu dipupuk terus agar lingkungan tempat kita tinggal menjadi tempat yang nyaman untuk berinteraksi sehingga dapat merawat nilai luhur seperti memiliki pengakuan adanya kesamaan kedudukan baik itu hak dan kewajiban, saling menghormati dan menyayangi, memiliki prilaku tenggang rasa, toleransi dan tepa selira dalam berinteraksi, bersikap adil dan tidak semena-mena terhadap tetangga, dan sebagainya.Â
Untuk merawat nilai-nilai luhur tersebut biasanya perlu diwadahi dalam sebuah aktifitas bersama, yang bisa jadi diinisiasi dari hal-hal kecil seperti pertemuan rutin warga, kerja bakti bersama, olah raga bersama, dan aktifitas kecil lain yang dapat mengakrabkan satu sama lain sehingga saling memahami karakter masing-masing warga.