Isu terkait lingkungan dalam kurun waktu belakangan ini sangat mewarnai pemberitaan di berbagai media baik cetak, televisi, maupun online. Pesatnya perkembangan tekhnologi membuat penyebaran sebuah peristiwa menjadi sangat cepat. Sosial media seperti facebook, twitter, line, instagram dan masih banyak lagi merupakan salah satu pendorong salah satu isu dengan mudahnya disebarkan, disamping sebagian besar masyarakat Indonesia sudah hijrah menggunakan smartphone dalam genggamannya. Salah satu idikator dalam meluasnya isu ini ialah dengan penggunaan sosial media sebagai media sosialisasi.
Peristiwa kabut asap yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia seperti Pekan Baru, Jambi, dan Palangkaraya merupakan salah satu potret kesemrawutan sebuah sistem tata kelola terkait penggunaan lahan sebagai industri. Indonesia tengah mengalami darurat lingkungan sudah pada puncaknya walaupun sudah bertahun-tahun dilanda bencana yang mungkin belum disadari semua pihak akibat pembakaran lahan untuk perkebunan kelapa sawit maupun karet.
Di mata internasional, kelapa sawit merupakan penyebab kerusakan hutan (deforestasi), hilangnya keanekaragaman hayati, penyebab kekeringan, perubahan iklim, bahkan dapat merusak kebudayaan dan adat masyarakat setempat. Kelapa sawit memang memiliki daya serap air cukup tinggi, sehingga daerah yang ditanami sawit akan cepat kering bila dalam penerapannya tidak sesuai standar. Pardigma tersebut pula yang menyebabkan ketidakpercayaan akan sebuah produk olahan dari minyak sawit. Padahal berbagai olahan dari kelapa sawit tanpa disadari sudah kita konsumsi sehari-hari seperti: minyak goreng, sabun, kosmetik, margarin dan masih banyak lainnya.
Kesadaran masyarakat saat ini sangat diperlukan dalam mensosialisasikan isu keberlanjutan, pasalnya berbagai produk yang kita gunakan harus tahu dari mana didapat dan diolah. Hal ini menjadi sangat penting untuk disadari oleh kita sebagai konsumen karena akan menetukan produk tersebut layak untuk dikononsumsi atau tidaknya. Apakah produk tersebut merusak lingkungan, sosial dan budaya? Karena ketika barang yang kita konsumsi itu ternyata hasil dari kategori tersebut, maka sama halnya kita menudkung ketidakberlanjutan bisnis dari sebuah produk yang dihasilkan tersebut.
Isu tentang keberlanjutan menjadi sangat penting untuk dipahami dan disadari bersama. Namun isu ini seakan menjadi topik yang baru dalam komoditas kelapa sawit, padahal kelapa sawit sudah sejak jaman kolonial yang didatangkan di Indonesia dari negeri Afrika. Ekspansi besar-besaran kelapa sawit di Indonesia seakan tidak memiliki batas teritorial para perusahaan yang tidak bertanggung jawab dalam menerapkan bisnis perkebunan kelapa sawit yang tidak ramah lingkungan dan sosial. Indonesia yang memiliki lahan terluas di dunia dalam perkebnunan kelapa sawit selain Malaysia, setidaknya menjadi incaran para investor dan korporasi yang ingin melakukan bisnis yang menggiurkan tersebut.
Komoditas unggulan no. 1 setelah karet, tebu, kopi dan teh ini, menjadi arena kompetitif bagi pelaku bisnis dalam jual beli CPO (Cruide Palm Oil). CPO atau minyak sawit mentah menjadi komoditas yang sangat berharga dalam pasar internasional, sehingga hal ini pula yang mendorong adanya sebuah asosiasi minyak sawit yang berkelanjutan sebagai kelayakan produk untuk konsumen yang bernama RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Kesadaran ini pula yang semestinya diketahui dan terus ditularkan kepada masyarakat Indonesia yang menjadi lumbung sawit Internasional dan berdampak langsung baik peningkatan ekonomi, sosial, dan budaya.
Perlu disadari juga bahwasannya perkebunan kelapa sawit sebagian besar masih dipegang oleh perusahaan yang belum melakukan sertifikasi baik RSPO maupun ISPO (dari pemerintah Indonesia). Sehingga masih banyak praktik bisnis yang tidak memenuhi standar seperti halnya kasus pembakaran lahan. RSPO sendiri baru beridiri sejak 2004 dengan mempromosikan praktik produksi minyak sawit bekelanjutan yang membantu mengurangi deforestasi, melestarikan keanekaragaman hayati, dan menghargai kehidupan masyarakat lokal di negara penghasil minyak sawit. Standarisasi dengan menerapkan sertifikasi menjadi alat untuk mengukur sejauh mana pelaku bisnis dalam hal ini produksi kelapa sawit sudah melakukan praktik bisnis yang berkelanjutan serta produknya dapat diakui.
Harapan menurut hemat penulis, bahwa isu keberlanjutan yang di dalamnya ada skema standarisasi, harus menjadi konsumsi masyarakat luas sebagai pengetahuan akan sebuah rantai pasok (supply chain) produk, dampak lingkungan, serta sosialnya, bukan hanya pihak perusahaan dan karyawan saja. Sehingga ini menjadi tantangan juga bagi perusahaan kelapa sawit dalam menerapkan praktik bisnis yang berkelanjutan dan dapat diterima oleh semua pihak dan konsumen. Dengan demikian, “menjadi konsumen yang baik itu haruslah kritis dan tahu akan produk yang digunakannya”.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI