Tinjauan Dunia Penulisan dan Perbukuan Lokal
[caption id="attachment_156747" align="alignleft" width="381" caption="Novel lokal semacam ini susah diadakan di sekolah2 karena DAK PENGADAAN BUKU yang besarnya Milyaran rupiah telah menentukan sampai ke judul buku. Coba kalau diberi ruang bagi daerah untuk mengelolah 10% saja dari DAK, Insya Allah dunia penulisan di daerah akan berkembang. Jika begini terus, kelokalan bisa mati..."][/caption] Sejujurnya tulisan ini merupakan ekspresi dari kekesalan saya terhadap system yang ada. Mengingat begitu melokalnya sesuatu yang sesungguhnya nasional sehingga membuat otonomi daerah tidak begitu berarti. Memang otonomi daerah telah membuat penguasa daerah, terutama Bupati/Walikota menjadi raja kecil di daerahnya tapi tidak menjadikan kreatifitas kelokalan dapat berkembang karena semuanya ditentukan oleh pusat. Ini saya rasakan terkait dengan hobi saya yaitu menulis, terutama sekali menulis novel. Sejak kembali ke kampung halaman tahun 2005, tulisan saya memang lebih banyak berlatarkan daerah, entah itu budaya, karakter masyarakat, maupun alamnya. Bahkan ada yang terkait dengan sejarah daerah. Saya berharap novel-novel saya mendapat tempat di daerah sebelum merambah ke nasional. Saya semakin bersemangat ketika melihat budaya di daerah saya yang pelosok ini sudah mulai luntur. Bahkan bahasa daerah pun sudah jarang dipakai. Ditambah lagi minat generasi muda terhadap dunia tulis menulis sangat kecil yang juga tentu berdampak ke minat bacanya. Satu hal yang saya pelajari pada generasi muda sekarang yang hidup di zaman materi, yang terpenting adalah bukti. Jika Anda bisa membuktikan bahwa Anda bisa eksis di dunia penulisan yang berarti sukses secara materi dari profesi yang Anda geluti maka bisa dipastikan mereka akan berbondong-bondong datang berguru. Tapi jika Anda masih terlunta-lunta dan hidup merana maka jangan berani bicara karena hanya cemoohan yang akan Anda terima. Dalam angan saya, ketika tulisan-tulisan saya bisa difasilitasi sehingga mendapat tempat di daerah maka saya akan membentuk kelompok-kelompok penulisan di sekolah-sekolah di mana saya sebagai bagian dari muridnya karena saya sadari dunia penulisan sesungguhnya adalah dunia tanpa guru—yang dilakukan di dunia penulisan adalah saling mengkritisi tanpa ada pemikiran bahwa seseorang adalah kebenaran mutlak. Saya pun menawarkan ini ke Diknas dan jawabannya sungguh mengecewakan: “Sebenarnya karya serta maksud kamu itu baik. Saya yakin daerah kita akan maju . Tapi maaf ya, soalnya pembelanjaan sudah diatur oleh pusat. Buku-buku yang harus dibeli sudah diatur judul-judulnya.” Saya yang tidak begitu mengetahui bagaimana mekanisme di dalam langsung saja percaya. Lagi pula, urusan Damkar saja yang harganya ratusan juta perbuah toh diatur di pusat sana, apalagi hanya buku yang nilainya tak sampai 50 ribu perbuah. Saya pun pulang dengan kecewa. Sekitar dua tahun lebih saya hanya diam dan masgul. Namun ada beberapa teman yang memakai cara politis. Kami mengadakan kegiatan-kegiatan yang menghimpun orang untuk membahas karya saya dengan harapan berkumpulnya orang-orang ini akan menarik perhatian pemerintah. Hasilnya tetap hampa. Masyarakat yang meminati dunia penulisan kalah jauh dibandingkan yang meminati dangdutan sehingga lebih efektif menggelar dangdutan di lapangan dari pada membiayai dunia penulisan. Saya sangat senang dengan programnya Presiden SBY yang mengharuskan Pemda menganggarkan minimal 20% dana pendidikan di APBD. Dan nampaknya ini ditaati, bahkan di daerah saya, Kota Kotamobagu, yang merupakan hasil pemekaran Bolaang Mongondow anggaran pendidikan mencapai 30% di APBD. Anggaran ini termasuk pengadaan buku. Walau saya hanya jadi penonton namun saya senang, bagaimanapun Presiden ternyata sangat memperhatikan dunia pendidikan. Suatu hari saya ketemu teman yang menjadi pegawai salah satu distributor nasional. Saya mengeluh padanya dan saya mendapatkan pernyataan yang sungguh mengagetkan: “Sebenarnya bukumu itu bisa masuk ke buku bacaan atau buku penunjang perpustakaan karena buku semacam ini tidak ditentukan secara nasional,” katanya yang mungkin sudah kasihan melihat saya. Penjelasan tulus dari teman ini menyemangati saya kembali. Saya pun ke Diknas lagi. “Saya kan sudah bilang bahwa semua sudah diatur secara nasional. Kamu ini orang hukum walau kamu menulis cerita namun aku yakin kamu tahu akibatnya pada saya jika saya menyimpang dari aturan,” kata orang Diknas. Perkataan pihak Diknas ini memerahkan telinga saya. Membuat saya marah. “Iya, saya tahu aturan. Dan aturannya, hanya buku pelajaran yang ditentukan secara nasional sementara buku bacaan atau buku penunjang perpustakaan tidak diatur,” jawab saya. Jawaban ini memerahkan muka orang Diknas ini. “Kalau dana Bos (Biaya Operasional Sekolah, Pen), pihak sekolah yang langsung menentukan. Jadi kamu lobi sekolah saja,” katanya dan cepat berlalu. Saya mencoba menelusuri dengan menghubungi beberapa sekolah namun jawabannya nihil. “Maaf, kami sudah membeli buku bacaan,” kata beberapa Kepala Sekolah yang saya hubungi. Ini aneh. Orang di Diknas serta Kepala Sekolah ini adalah saudara saya dalam pengertian pertalian darah. Beberapa merupakan teman dari almarhum Ayahanda saya yang semasa hidup sempat mengabdi sebagai guru SD—beliau meninggal sebelum ada program-program yang membantu dunia pendidikan seperti sekarang. Mengapa mereka tak mau membantu saya? Ternyata semua untuk menjaga hubungan baik dengan pihak distributor nasional mengingat Diknas maupun para Kepala Sekolah ini mendapat persenanan dari distributor. Sementara saya yang tidak mengetahui permainan ini dan memang belum terpikir untuk menawarkan permainan ini. Berbicara soal persenan, persaingan antar distributor nasional tentang ini sungguh luar biasa ketat. Bahkan sempat ada distributor yang memukul distributor lain hanya karena tawaran persenan dari distributor yang bersangkutan lebih besar. Saat ini, saya melihat teman-teman almarhum Ayahanda saya sudah banyak yang punya kendaraan roda empat dan rumah sudah semakin baik—sesuatu yang tak terpikirkan dari dulu akan sebaik ini kehidupan seorang guru. Alhamdulillah, tentu. Walau saya tetap bersyukur kehidupan sekarang ini. Juga saya melihat kesejahteraan teman-teman yang menjadi agen dari distributor nasional. Dan saya tentu tidak patah arang. Saya akan berusaha agar karya penulis local dapat diperhatikan. Tanpa bermanis kata, bagaimanapun ini terkait dengan kepentingan saya sebagai orang local yang ingin menekuni dunia penulisan ini. Selain itu, saya berharap akan terjadi kaderisasi penulis local ketika generasi setelah saya tertarik dengan dunia penulisan. Dan mungkin saja, khasana local kami suatu saat akan bisa menjadi warna budaya secara nasional. Dari kenyataan yang saya alami, ada dua hal yang dipaksakan yang bersifat nasional yang dipaksakan pada kami sehingga hal yang nasional ini menjadi terlalu melokal. Yaitu dari sudut aturan. Saya berharap agar pada Juklak maupun Juknis menyebutkan dengan jelas BUKU BACAAN LOKAL walau tidak memerinci judulnya. Hal ini perlu agar Diknas maupun sekolah-sekolah mempunyai ketetapan hati untuk mengadakan buku local. Jika aturannya tidak jelas maka tetap saja karya local susah diterima karena harus bersaing dengan distributor nasional yang memang sudah punya modal. Kedua, persaingan dengan distributor nasional. Jelas saja karya local akan kalah mengingat jumlah cetaknya hanya sedikit sehingga biaya produksi tinggi yang berakibat pada harga. Sementara buku yang didistribusikan secara nasional dalam jumlah besar yang membuat biaya pereksemplarnya semakin sedikit sehingga bisa menawarkan persenan lebih pada Diknas maupun Kepala Sekolah. Saya harap distributor nasional bisa memberi ruang pada karya-karya local atau bisa bekerjasama dengan penulisnya. Akhirnya, saya minta maaf jika ada yang tersinggung dengan tulisan ini. Harapan saya, tulisan ini bisa direnungkan dan didiskusikan. Wallaualam bishawab. (Anuar Syukur)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H