[caption id="attachment_152357" align="aligncenter" width="720" caption="Salah satu sudut pemandangan dari Puncak Lawu."][/caption] Menyambangi petilasan Raja Brawijaya V, berbaur bersama para peziarah yang berbekal sesaji dan doa. Saya terbangun dari tidur nyenyak di subuh itu akibat suara-suara gaduh orang-orang yang lalu lalang di samping tenda tempat kami menghabiskan malam. Jam masih menunjukkan pukul lima subuh, tetapi basecamp Cemoro Sewu, yang terletak di Kabupaten Magetan Jawa Timur, telah ramai oleh orang-orang yang hendak melakukan pendakian. Basecamp ini adalah salah satu pintu masuk untuk mengawali pendakian ke puncak Gunung Lawu. Bagi masyarakat penganut tradisi Jawa, nanti malam adalah malam yang istimewa karena merupakan malam pergantian tahun baru yang biasa disebut satu suro (1 Muharam). Malam yang spesial tentunya disambut di tempat yang spesial juga dan Gunung Lawu adalah salah satu pilihan yang diminati banyak orang khususnya bagi pendaki yang mencari keindahan dan peziarah yang membawa doa. Selain karena keindahannya, gunung ini juga memiliki sisi magis dan historis yang berhubungan erat dengan perayaan satu suro itu sendiri. Di kawasan ini terdapat banyak sekali tempat petilasan Raja Brawijaya V, raja terakhir di zaman Majapahit yang memilih mengasingkan diri di gunung ini. "Diperkirakan sekitar dua ribuan pendaki yang datang pada satu suro, seperti pada tahun-tahun sebelumnya.", demikian keterangan dari Pak Sardi, seorang pemilik warung di Cemoro Sewu, saat malam pertama kami tiba di sini. Untuk menjaga kelancarannya, Pak Sardi dan warga yang tergabung dalam tim SAR telah mempersiapkan diri untuk mengantisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi. [caption id="attachment_152340" align="alignleft" width="300" caption="Sesajen yang diletakkan di atas sebongkah batu di pos 2."][/caption] Kami menyeruput teh hangat sambil menunggu sarapan nasi goreng yang sedang dipersiapkan di basecamp Cemoro Sewu. Basecamp ini terletak di pinggir jalan raya Karanganyar - Magetan yang menghubungkan provinsi Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Terletak di ketinggian 1900 meter di atas permukaan laut (m dpl) membuat jalan raya ini adalah jalan raya yang tertinggi di Pulau Jawa. Setelah menghabiskan sarapan kami bersiap melakukan pendakian. Dimulai dengan mengemas ulang logistik dan barang bawaan, melapor ke pos pendakian, dan membayar retribusi. Pendakian dimulai dengan melewati hutan cemara dan hamparan ladang pertanian masyarakat sekitar. Lintasannya berupa jalan setapak berbatu yang sudah tertata rapi. Di jalur ini terdapat lima pos yang menjadi tempat peristirahatan bagi para pendaki. Sebagian besar pos-pos ini dibangun dengan semi permanen. Dari setiap pos yang kami lewati selalu dipenuhi oleh para pendaki yang beristirahat dan penjaja makanan yang mendirikan tenda-tenda darurat di sekitar pos pendakian. Penjaja makanan berasal dari warga yang tinggal di sekitar kaki Gunung Lawu, mereka memikul dagangan dari bawah untuk dijajakan di atas gunung. Setelah hampir seharian dalam perjalanan yang melelahkan, akhirnya kami tiba di Sendang Drajat, salah satu area yang biasa dipakai pendaki untuk mendirikan tenda dan bermalam. [caption id="attachment_152349" align="alignleft" width="300" caption="Peziarah sedang mengambil air di mata air suci Sendang Drajat."][/caption] [caption id="attachment_152350" align="alignleft" width="300" caption="Peziarah yang sedang sembahyang di antara tenda pendaki di Sendang Drajat."][/caption] Sendang Drajat adalah sebuah mata air yang terletak di ketinggian 3200 m dpl. Mata air suci ini dahulunya adalah tempat pemandian Raja Brawijaya V. Konon, menurut kepercayaan masyarakat setempat, apabila para pengunjung mempunyai cita-cita atau niat tertentu dapat terkabul apabila mandi di sendang ini. Di depan sendang ini terdapat dua pondok pendaki yang menyatu dengan penjual makanan. Bagi pengunjung yang ingin mandi, di utara sendang disediakan kamar-kamar mandi sederhana yang disekat dengan tembok semen tanpa atap. Di timurnya berdiri sebuah bangunan berupa pondok permanen yang dipakai buat sembahyang. Selain Sendang Drajat, ada beberapa situs lain yang patut dikunjungi para pendaki dan menjadi tempat tujuan para peziarah untuk sekedar berdoa atau melakukan ritual. Sumur Jalatunda merupakan sebuah gua vertikal sedalam lima meter yang dipakai untuk bertapa. Gua ini dipercaya sebagai tempat Raja Brawijaya V menerima wangsit dalam perjalanan naik ke Puncak Lawu. Hargo Dalem, sekitar 15 menit perjalanan dari Sendang Drajat, merupakan tempat peristirahatan Raja Brawijaya V. Di sini terdapat bangunan khusus yang digunakan untuk berdoa atau moksa. Suasana mistis begitu terasa di tempat ini. Dan Hargo Dumilah yang menjadi tujuan utama para pendaki adalah puncak tertinggi Gunung Lawu (3265m dpl). Puncak ini juga dipercaya sebagai tahta Raja Brawijaya V. Seperti di Sendang Drajat, Hargo Dalem dan Hargo Dumilah dipenuhi tenda-tenda para pendaki. [caption id="attachment_152353" align="aligncenter" width="520" caption="Hargo Dalem yang disesaki tenda-tenda para pendaki dan gubuk-gubuk penjual makanan."][/caption] Hari menjelang petang ketika kami kembali menjejakkan kaki di basecamp. Sebelum pulang ke rumah, kami menyempatkan diri untuk beristirahat sebentar. Di sela istirahat ini, saya menyadari bahwa Gunung Lawu tidak sekedar menyimpan keindahan yang begitu mempesona. Sisi magis nan keramat, sejarah kebesaran masa lalu, budaya yang terpelihara adalah warisan unik dari Gunung Lawu yang mesti kita jaga. Di dalam kepenatan petang itu, saya dapat merasakan pendakian Gunung Lawu kali ini begitu menginspirasi batin saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H