Dalam obrolan ringan dengan tetanggaku kang Parto, kami membahas tentang berbagai bencana yang sedang menimpa bumi pertiwi ini, termasuk yang paling hangat tentang Merapi.
Dari masalah mistisnya, sampai masalah publikasi bencananya. Ya, masalah publikasi ini sempat kami bahas dengan seru karena kami melihat sepertinya ada sisi dimana bencana ini menjadi semacam komoditi.
Coba kita lihat, bagaimana berbagai "bendera" bermunculan dibalik sumbangan yang mengalir, tidak lupa dengan gagahnya (mungkin lupa kalau sedang di lokasi bencana) mereka berbicara didepan media bahwa kelompok mereka yang paling peduli...
Kemudian ada sosok publik figur, yang datang juga ke lokasi bencana, katanya peduli, tetapi ketika mengunjungi pengungsi terlihat sekali kalau menjaga jarak (mungkin risih melihat orang susah).
Sayapun menimpali dengan cerita tentang teman kantor, yang ngotot menjadi relawan. Memang dia mempunyai latar belakang pendidikan psikologi, yang katanya lagi dibutuhkan untuk memberikan terapi psikologis para pengungsi. Tetapi mungkin dia tidak tahu kalau relawan perorangan begitu akan menjadi susah koordinasi dilapangan disana, dan ujung-ujung temen saya itu bilang, yang penting sudah ke sana, nanti kan bisa lihat secara langsung bencana, terus update ke FB dan Twitter. Nah lho...mau jadi relawan untuk bisa eksis!
Jadi kami mengakhiri obrolan kami dengan harapan semoga saudara-saudara kita dilokasi bencana bisa ditangani dengan baik, semoga orang-orang yang dengan sengaja memanfaatkan bencana untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya segera sadar, dan terutama untuk teman-teman relawan yang tanpa bendera dan publikasi memberikan bantuan saya doakan untuk tetap sehat dan selamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H