Sabtu, 20 November 2010 Hari ini saya melakukan perjalanan ke Banten Selatan lagi. Sebenarnya perjalanan kali ini sempet tertunda beberapa kali, karena kesibukan pekerjaan. Tapi akhirnya jadi juga setelah 2 orang teman perjalanan (saudara) mengkonfirmasi waktunya bisa semua. Kakak saya yang satu tinggal di Bintaro, sedangkan yang satunya lagi masih satu komplek dengan saya di Villa Nusa Indah, didaerah Cikeas. Untuk memudahkan, kita janjian di sekitar Cijantung, dan akhirnya ketemuan disana jam 10 malam, lalu melanjutkan perjalanan ber tiga. Saya mengendarai Yamaha Mio tahun 2005, motor yang memang sudah biasa saya bawa touring, 2 motor yang lain Honda Beat 2010 dan Yamaha Vega. Malam itu kami menyusuri jalan raya Bogor dari arah Cijantung, kemudian ke arah Depok lanjut ke Citayam. Di Citayam kami sempat berhenti untuk mengisi bensin. Dari situ kita melanjutkan lagi ke arah Bogor, Ciawi ke arah Sukabumi ambil kanan setelah Cibadak ke arah Pelabuhan ratu. Sebenarnya perjalanan kali ini kurang ideal, terutama karena musim hujan, yang menemani sepanjang perjalanan kami. Sekitar jam 3 pagi sampailah kami di Pelabuhan ratu, dan jam segitu "kafe-kafe" di sepanjang pantai sudah mulai sepi, walaupun masih ada beberapa yang dipenuhi pengunjung dengan suara musik dangdut yang menggelegar. Setelah sedikit lihat kiri kanan, kamipun mampir di salah satu "kafe", dan kesempatan itu saya manfaatkan untuk tidur. Jam lima subuh saya dibangunkan karena kopi yang saya pesan dari semalam sudah dingin, dan terpaksalah saya minum kopi dingin, lumayan untuk mengganjal mata yang dari semalam ngantuk sekali. Setelah membayar ke pemilik kafe, kami melanjutkan perjalan lagi ke arah Citorek. Desa Citorek Letak Geografis
Desa Citorek terletak di Kabupaten Lebak, Kec. Cibeber, dan mempunyai 4 wilayah adat/kasepuhan yaitu : 1. Citorek Timur yang dipimpin oleh Olot Didi 2. Citorek Barat dipimpin oleh Olot Umar 3. Citorek Tengah dipimpin oleh Olot Undikar 4. Citorek Selatan dipimpin oleh Olot Kusdi Sejarah Citorek Pada waktu di Lebak Singka ada Raja bernama Raja Suna, beliau membawa 2 orang keturunan Pangawinan (Pacalikan), kedua orang tersebut yaitu sepasang laki-laki dan perempuan, yang laki-laki dibawa ke Cikaret (Cisungsang, Cicarucub, dll) disebut Dulur Lalaki dan diberi bekal kemenyan, sedangkan yang perempuan dibawa ke Citorek disebut Dulur Awewe diberi bekal Panglay (kunyit besar), Karakteristik Masyarakat Citorek Masyarakat Citorek disebut juga dengan pangawinan kehidupannya sudah setengah modern karena jalan sudah ada, listrik dan Televisi sudah ada dan bangunan rumahnya beberapa sudah modern tetapi sebagian besar rumahnya masih asli (rumah panggung). Bahasa yang dimenggunakan bahasa Sunda, sebagian besar masyarakatnya menganut agama Islam dan setiap melakukan suatu kegiatan biasanya memakai kalender hijriah/islam, untuk itu setiap melakukan/menanam sesuatu harus membaca dua kalimat syahadat. Dalam kehidupan sosialnya menganut 3 (tiga) sistim yang di anut yaitu : Negara (jaro/lurah), Agama (panghulu), dan Karuhun (kasepuhan/kaolotan). Masyarakat Citorek sebagian besar penghidupannya dari menanam padi (nyawah), oleh karena itu masyarakat desa citorek jika ingin mempunyai istri harus bisa menanam padi. Ada hari-hari tertentu masyarakat Citorek tidak boleh melakukan kegiatan terutama di sawah yaitu hari Jumat dan Minggu, maksudnya kalau hari Jumat mereka harus melaksanakan shalat jumat, dan hari minggu mereka menghormati hari libur nasional/menghormati pemerintah. Dahulu masyarakat Citorek/pangawinan tidak boleh/dilarang memakai pakaian warna hitam, kain yang dibelah dua (semacam kain bugis), kopiah/laken, sepatu, rok/anderok , kebiasaan tersebut sekarang sudah tidak berlaku lagi, tapi kalau perempuannya sebagian besar masih memakai kain (tidak pakai rok). Setiap mengadakan perayaan selalu diiringi Goong Gede (Goong besar), goong gede ini dimainkan setahun 4 kali yaitu pada saat Ngaseuk, Mipit, Gegenek dan Seren Tahun. Goong gede terdiri dari saron, kecrek, kenong, dan kending. dimainkan oleh kurang lebih lima orang. Masyarakat Citorek sekarang sudah banyak meninggalkan tradisinya misal Neres dan Sedekah Bumi sudah tidak pernah dilakukan lagi karena masyarakatnya sudah modern dan tidak percaya kepada keyakinan leluhurnya. Sejarah Keturunan Kaolotan/Kasepuhan 1. Kasepuhan Citorek timur pertama di pimpin oleh Aki Mardai kakek dari Oyot/Oyok Didi, setelah beliau meninggal dunia digantikan oleh anaknya bernama Oyot Ijrai, Oyot Ijrai meninggal dunia digantikan oleh anak yaitu Oyot Didi sampai sekarang. 2. Kasepuhan Citorek Barat pertama di pimpin oleh seorang santri bernama Kiai Sarkam setelah meninggal dunia digantikan oleh anaknya bernama Oyot Sartim, setelah meninggal dunia digantikan oleh adiknya bernama oyot Usup dan beliau meninggal dunia digantikan oleh cucunya bernama Oyot Umar sampai sekarang. 3. Citorek Tengah pertama di pimpin oleh Aki Saki, setelah meninggal dunia diganti oleh anaknya Aki Sali dan satu bulan yang lalu beliau meninggal dunia digantikan oleh anaknya yang masih sekolah di kelas 3 SMP bernama Aki undikar. 4. Citorek Selatan yang sekarang dipimpin oleh Aki Kusdi Adat/Tradisi Desa Citorek 1. Neres Neres adalah ritual yang dilakukan untuk menghilangkan penyakit masyarakat atau dilakukan jika daerah tersebut mengalami kejadian-kejadian yang merugikan, seperti menyebarnya wabah penyakit, paceklik, setiap menanam padi atau pepohonan yang hasilnya tidak bagus. Ritual ini dilakukan tidak setiap tahun tetapi sesuai dengan kejadian yang dialami. a. Neres ada 2 yaitu : - Neres Cai dilakukan di pinggir kali/walungan/parakan - Neres Darat dilakukan didepan rumah masing-masing. b. Peralatan Neres - Rumput /Palias - Basin/Baskom/Tobas (di isi oleh air yang muter /cai mulang dan ikan paray yang hidup). - Sesajen (isinya Nasi kuning, dodol dll) c. Cara-cara Neres Neres bisa dilakukan dengan cara neres cai atau neres darat, pertama masyarakat berkumpul di pinggir kali atau di depan rumah sambil berjejer lalu kasepuhan/kaolotan memercikan air yang ada di basin oleh rumput yang telah dicelupkan ke basin tersebut beberapa kali setelah selesai air tersebut dibuang ke kali Cimadur. Sekarang Neres tidak pernah dilakukan lagi terakhir Neres dilakukan 15 tahun yang lalu, karena masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan ritual tersebut. 2. Sedekah Bumi Sedekah bumi adalah selamatan/ruatan yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara menyembelih kerbau. Tujuannya agar tanah leluhurnya selalu mendapat keberkahan, selalu subur, aman dan tentram. Sedekah Bumi dilakukan 3 tahun sekali. Caranya : kerbau disembelih , kepalanya di kubur dan dagingnya dibagikan ke masyarakat, setelah sebelumnya diadakan syukuran/selametan. Sekarang tidak pernah dilakukan lagi, terlakhir dilakukan pada waktu Jaro Nurkib kurang lebih 50 tahun yang lalu. 3. Seren taun Seren taun adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat Citorek tiap satu tahun sekali, biasanya di bulan Syawal. Tujuannya untuk menghormati dan sebagai tanda terima kasih kepada Yang Maha Kuasa dan Leluhur yang telah memberikan keberkahan dan kesuburan. Masyarakat Citorek setiap mengadakan perayaan Sunatan/hajatan selalu dilakukan saat seren taun, perayaan sunatan dilakukan secara besar-besaran beda dengan mengadakan perayaan pernikahan dilakukan hanya dengan penghulu tanpa perayaan. Sampai sekarang Perayaan Seren taun masih dilakukan. Sebelum dilakukan perayaan Seren taun, masyarakat melakukan hal-hal sebagai berikut : 1. Ngaseuk Ngaseuk adalah waktu menanam padi, dan Acara Ngaseuk biasanya dirayakan dengan menabuh Goong besar (goong gede). Pada waktu ngaseuk dilaksanakan Tanur/tandur (binih kana binih) yang biasanya dilakukan waktu Silih Mulud . Pada saat padi sudah bagus (pare geus gumuna) atau supaya padi jadi bagus masyarakat Citorek biasanya tidak memakai pupuk yang memakai bahan kimia dari luar atau tidak pernah membeli pupuk, mereka biasanya membuat pupuk sendiri yaitu dari padi yang dibikin tepung atau bikin bubur dicampur dengan kelapa muda dan gula merah. 2. Mipit Mipit adalah perayaan di waktu panen (ngambil padi). Biasanya dirayakan dengan menabuh Goong besar (goong gede). Sebelum sawah tangtu atau sawah yang punya kokolot/kasepuhan dipanen, maka masyarakat tidak akan memanen sawahnya walaupun sawah masyarakat tersebut sampe busuk sebelum sawah tangtu di ambil harus nunggu (kajeun teuing nu kami buruk lamun sawah tangtu can kolot atau can asak ulah di ala heula). Mipit biasanya dilakukan bulan Rewah/Ruwah. Setelah dipanen disimpan di lantai atau di jemur setelah kering diangkut/direngkong, dimasukan dan didudukan ke leuit (tempat padi). 3. Gegenek / Bendrong lisung Gegenek adalah saat numbuk padi dan dilakukan oleh ibu-ibu sebanyak kurang lebih sepuluh orang, sambil nyanyi-nyanyi/lalaguan dan diiringi oleh goong gede. Sebelum padi ditumbuk harus nganyaran/dianyaran maksudnya jika padi sudah dipanen maka harus di jemur lalu di tumbuk, tetapi sebelumnya harus mengadakan syukuran/salametan. Seren taun di Desa Adat Citorek : 1. Nganjang/babawaan Nganjang yaitu satu hari sebelum perayaan seren tahun (sebelum hari H) harus membawa/masrahkeun sisa hasil bumi kepada kasepuhan yang disebut ngajiwa dan biasanya di tempat Olot Didi. Hasil buminya biasanya apa saja yang mereka punya misal : padi, pisang, ternak dll. Dengan diiringi Goong Gede sambil iring-iringan. 2. Hiburan/raramean Hiburan dilakukan pada malam hari sebelum perayaan seren taun, biasanya hiburan topeng, koromong, Angklung, dankdutan dll. 3. Memotong Kerbau Motong kerbau dilakukan pagi hari dilakukan oleh para sesepuh/kokolot setelah itu daging tersebut yang disebut daging jiwaan dibagikan kepada seluruh masyarakat Citorek/ kepada tiap keluarga (susuhunan), semua masyarakat harus dapat bagian walaupun sedikit. Daging Kerbau tersebut dibeli dari iuran masyarakat. 4. Ziarah/ ngembangan Ziarah ketanah leluhur atau ke karuhun. 5. Rasul serah tahun / syukuran / selametan Syukuran dilakukan di Citorek Timur di tempat Oyok Didi, biasanya para kasepuhan/kokolot, jaro, panghulu berkumpul sambil makan-makan dan musyawarah. 6. Hajatan/Sunatan Kebiasaan masyarakat Citorek jika akan mengadakan perayaan sunatan selalu dilakukan sekalian pada saat seren taun, dilakukan setelah selametan/syukuran. 7. Kariyaan/mulangkeun ka kolot Penutup acara sambil menabuh Goong gede, mereka menyebut acara asup leuweung menta kahirupan maksudnya mulai ke kehidupan rutinitas, masyarakat mulai kerja seperti biasa ada yang pergi kerja ke kota atau ke sawah. Sumber dari: http://www.bantenculturetourism.com
Ternyata perjalanan ke Citorek tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Jalanan berbatu adalah jalan satu-satunya dan merupakan tantangan tersendiri.
Jembatan-jembatan kayu seperti ini juga beberapa kali harus kami lewati.
Salah satu plang tanda Taman Nasional Gunung Halimun yang kami lewati
Sebagian besar jalan berbatu yang kami lalui
Pose di atas jembatan
Jalan aspal yang masih di daerah Cisolok, sebelum masuk ke Citorek
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H