Mohon tunggu...
Rossy Aprillianty
Rossy Aprillianty Mohon Tunggu...

Jalan2 is my passion, buku + movie + music is my fashion, penikmat hidup sejati dalam yin yang & paradoks ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kaktus dan Belut

4 Januari 2015   03:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:52 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mencintai kaktus. Tumbuhan yang mampu hidup lama tanpa air ini membuatku terbius, terpana akan keunikannya. Ternyata, Tuhan memang Maha Adil. Bagaimana mungkin tumbuhan dengan daun-daun yang membentuk menjadi duri-duri, yang jauh dari tampilan indah, bisa menarik diriku sedemikian hebatnya. Sementara aku takjub dengan semua kekurangannya dibanding kelebihan yang dimiliki oleh tumbuhan-tumbuhan lainnya. Tumbuhan yang menyimpan persediaan air di batang tubuhnya ini kuhadiahkan padanya siraman cinta dengan curah begitu deras. Aku mengagumi bunganya yang tak bertangkai, mengagumi daun durinya yang siap menyakiti tangan-tangan yang tak berhati-hati ingin menyentuh ataupun sekedar mempermainkannya. Aku mencintai batang tubuhnya yang lembut dan halus. Ternyata, hati kaktus tidak sekeras yang kubayangkan. Dan duri-duri di sekujurnya setiap saat melindunginya. Kau hanya bisa mengaguminya dari jarak yang tepat, atau berdekatan dengannya dengan cara yang tepat agar tak tertusuk durinya.

Dia mencintai belut. Hewan yang mampu hidup di udara dengan sedikit air ini, bukanlah hewan cantik yang layak untuk dikagumi. Ternyata, Tuhan benar Maha Adil. Bagaimana mungkin hewan yang masuk dalam kelas ikan-ikanan ini bisa membuatnya jatuh hati. Belut yang selalu bergerak kian kemari, urung menetap. Semakin dikaguminya, belut yang tidak memiliki insang seperti layaknya jenis ikan lainnya, namun kecil diantara kulit mulutnya, selalu bersembunyi. Dikaguminya sifat belut yang mampu bertahan berbulan-bulan hidup di lingkungan yang kurang air, bila terpaksa. Kulitnya yang licin melindungi dirinya dari tangkapan hewan-hewan lain. Kau hanya bisa mengagumi belut dari jarak yang tepat agar ia tak lari bersembunyi.

Kaktus dan belut saling mencintai.

Mereka saling mencintai dari alam mereka masing-masing, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki. Kaktus dan belut sama-sama dapat bertahan tanpa makanan  dalam jangka waktu yang lama, namun mereka tidak tahan untuk berpisah berlama-lama dari kekasihnya. Mereka telah menjalin hubungan sedemikian rupa, lengkap dengan semua kerumitan dan keindahan cinta yang ada. Detak waktu, jutaan cerita, pengorbanan, perjalanan, tawa suka dan tangis duka menyertai kisah yang telah mereka lalui.

Kaktus dan belut hidup di alam yang berbeda, dengan lingkungan yang bertolak belakang, tapi mereka menolak menyerah pada takdir alam. Mereka tetap mencoba untuk bersatu di satu titik, pada satu waktu nanti, menjadi satu kisah yang bahagia. Ternyata, Tuhan abai memberi keadilannya di kisah mereka. Bagaimana mungkin kaktus dan belut yang amat sangat mencinta, tidak dapat disatukan?

“Aku dibesarkan oleh angin dan matahari yang mengguncang tubuh di alamku, hidup dari air yang sedikit saja, belutku sayang. Lalu, mengapa aku harus resah saat harus bergelut dalam guncangan gelombang di alam airmu yang dalam?” protes kaktus pada belut di tengah rinai hujan sore hari.

“Tapi, tak terpikirkah olehmu, kaktusku tercinta?! Bahwa hubungan kita ini akan mengguncang dawai banyak mahluk? Cukup bagiku. Biarlah mata ini memeluk apa yang tak sanggup digapai oleh tanganku.” Kepala belut naik turun dalam air kolam yang tertimpa rintik-rintik hujan sore itu.

Kaktus memajukan badannya untuk sekedar lebih dekat dengan kekasih hatinya. Tapi dia tidak mau gegabah, sedikit saja dia bergerak lebih dekat ke kolam, ditengah hujan seperti ini, bukan hal yang tidak mungkin dia akan jatuh masuk ke dalamnya. Sudah ribuan kali kaktus memikirkan rencananya untuk masuk ke dalam kolam. Menceburkan diri, menyatu dengan sang kekasih di alamnya. “Tapi, apa yang dapat kuperbuat disana nantinya?” pikir kaktus berulang kali, meyakinkan rencana-rencananya. “Aku memang akan bersatu dengan kekasihku, tapi kemudian mati. Untuk itukah aku mengorbankan diri?! Hanya untuk mati di alam kekasihku? Tidak, tidak, tidak. Aku tidak ingin meninggalkan belutku sayang merana dan meratap di alamnya yang telah menenggelamkan tubuhku, dan membiarkan kolam ini membunuh mimpi-mimpi dan harapan-harapan kami berdua.”

Di pinggiran kolam, belut mencoba memaksakan diri mengangkat tubuhnya lebih tinggi, sekedar lebih dekat dengan kekasihnya yang malang. Dia ingin merasakan hangatnya oksigen yang keluar dari tubuh kaktus, seperti seorang pecandu yang menghirup racunnya. Menenggelamkan tubuhnya dan merasa aman di pelukan diantara daun duri kekasihnya. Ribuan kali pula belut memikirkan rencana untuk lompat dari kolam itu untuk kemudian meleburkan diri dalam dunia kekasihnya. Belut tak khawatir dengan tubuhnya yang akan mati kehabisan darah karena tertusuk duri, tapi ia khawatir kaktus kekasihnya akan meratap dan merana terseret kenangan setiap melihat bangkainya.

“Belutku sayang, jika nanti semua berakhir buruk dan kamu mengutuk setiap jejak yang tertinggal, aku minta maaf. Jika nanti kita berpisah karena terbentur kenyataan dan hatimu sakit berkepanjangan, aku juga minta maaf. Aku minta maaf atas semua yang mungkin akan terjadi, tapi tidak untuk saat ini.” Kaktus mulai menguatkan hati kekasihnya, pula dirinya, untuk sebuah niat.

Belut terpaku, kali ini tubuhnya sudah nyaris hampir naik ke atas kolam. Dia leluasa menatap kekasihnya dengan cukup jelas dari jarak ini. “Mungkin kita menyesali hari kemarin, mungkin kita gelisah akan hari esok, tapi bukankah hari ini kita masih tertawa, kaktus belahan jiwaku? Aku percaya, jika sepasang mahluk bersama, sesungguhnya tak ada yang perlu ditakutkan, tak ada yang perlu dimaafkan.”

Kaktus menjulurkan batang tubuhnya mendekat ke pinggir kolam, meraih tubuh belut yang makin naik di pinggir kolam. Duri-durinya mulai menancap di tubuh kekasihnya. Belut yang tertancap duri kekasihnya, tidak berusaha pergi bersembunyi. Kaktus dan belut terpekik pelan dan pedih. Perih duri dan dingin licin tubuh tak mereka rasa. Tubuh belut yang menggelepar menggerakkan tubuh kaktus. Hanya rasa bahagia yang menjalar memenuhi tubuh mereka. Tak peduli lagi belut akan tubuhnya yang berdarah-darah karena duri sang kekasih, yang juga telah terdorong masuk ke dalam kolam dalam.

Kaktus dan belut sepakat saling mengorbankan diri. Bagi kaktus, kolam air yang dalam adalah siraman matahari di daerah tropis selama dia bisa tetap bersama kekasihnya. Rengkuhan lumpur di dasar kolam bersama belut adalah balutan pelukan abadi. Bagi belut, duri kaktus yang menancap di sekujur tubuhnya terasa lebih melegakan dan membahagiakan dibanding dengan hanya menatap duri itu dari kejauhan. Tak ada yang lebih indah dengan tetap bersama dalam dasar kolam bersama kekasihnya selamanya.

Kaktus dan belut, menyatu dalam pelukan erat. Kaktus yang kehabisan udara dan belut yang kehabisan darah, terbuai di kedalaman air kolam yang menenggelamkan mereka dalam maut yang mereka pilih bersama …

(untuk kaktus-kaktus dan belut-belut yang tak akan pernah bersatu … cerita ini untuk kalian)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun