Nasib negeri ini ditentukan oleh calon-calon pemimpin bangsanya. Sayangnya sampai hari ini rakyat Indonesia masih belum tahu siapa calon presiden (dan wakilnya) yang akan dipilih.
Beberapa hari terakhir setelah pemilu legislative, rakyat hanya disuguhi pertunjukkan kasak-kusuk bagaimana memilih calon presiden dan wakil presiden. Semuanya itu didominasi oleh gorengan-gorengan partai politik. Seolah tidak ada pilihan lain, rakyat harus memilih calon presiden berdasarkan hidangan komposisi capres-cawapres yang disajikan oleh para koki the king-maker.
Pada posisi ini, bahkan rakyat tidak berhak bersuara untuk mengusulkan. Karena pilihan-pilihan yang ada adalah haknya partai politik. Bukan haknya rakyat. Seandainya rakyat dianggap sudah diberi saluran untuk menyalurkan suaranya, itu pun untuk partai politik, yaitu untuk memilih calon legislator. Saluran resmi untuk memilih (bukan menyuarakan pendapat) calon presiden dan wakilnya adalah pada saat pilpres nanti.
Seandainya kita adalah bangsa yang sedang dalam proses pembentukan berbangsa dan bernegara, maka percobaan dan simulasi untuk membuat komposisi system berbangsa dan bernegara mestinya tidak akan pernah berhenti. Selama kita masih belum mencapai komposisi yang pas, maka sah bagi kita untuk mencoba yang baru. Karena dari system terakhir yang digunakan, ternyata banyak kekecewaan yang dihadapi oleh masyarakat.
Selain itu, semua pencapaian pada setiap periode administrasi pemerintahan harus dikembalikan pada cita-cita luhur pembentukan Negara ini. Semuanya itu perlu diukur dengan indicator seperti termaktub dalam Dasar Negara Pancasila dan Konsitusi UUD 1945.
Sangatlah dihargai banyaknya individu yang menyatakan niatnya untuk menjadi calon presiden. Sebenarnya, semakin banyak semakin baik, agar masyarakat paham kualitas dan niatan mereka untuk menjadi calon pemimpin bangsa. Namun pada akhirnya, niat baik mereka terjegal dalam system oligarki partai yang tercipta dari Undang-undang pemilu. Mereka disaring tidak melalui kompetisi berdasarkan pandangan masyarakat namun melalui kompromi dan lobby antarpartai peserta pemilu legislative.
Dari 240 juta warga Indonesia sangat mungkin ada mutiara-mutiara yang bersinar. Mereka ini yang Seharusnya mendapatkan saluran untuk menjadi calon-calon pemimpin di masa datang. Mereka ini yang seharusnya mempunyai kesempatan yang sama dengan calon-calon yang disajikan oleh partai. Apabila di dalam pilkada dimungkinkan adanya jalur calon pemimpin daerah independent, mengapa pada level nasional tidak?
Sampai saat ini masyarakat masih menunggu bagaimana babak akhir proses kompromi dan lobby yang serba tertutup. Apabila kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur adalah taruhannya, maka sangat wajar rakyat menuntut pertanggungjawaban cara pemilihan pasangan capres-cawapres. Bahkan bagi partai yang sudah memulai proses konvensi pemilihan calon presiden secara terbuka, mereka tetap berkewajiban mengakhiri proses konvensi seperti yang diharapkan, terlepas dari pencapaian hasil pemilu legislatif.
Dengan demikian, sangat tidak fair apabila rakyat hanya mengetahui calon pemimpinnya di detik-detik terakhir pas pendaftaran calon presiden dan wakilnya. Dan jangan sampai pula ada yang tiba-tiba dicabut mandatnya menjadi calon presiden secara mendadak. Mari kita tunggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H